Jalan Panjang Proyek Migas Laut Dalam RI Usai Ditinggal Chevron

Image title
3 Februari 2021, 14:56
Indonesia Deepwater Development, IDD, SKK Migas, ENI, Chevron, blok migas, offshore, esdm
123RF.com/_fla
Ilustrasi. Proyek IDD Tahap II masih menunggu negosiasi alih kelola blok migas ini dari Chevron ke ENI.
  • Negosiasi alih kelola proyek IDD dari Chevron ke ENI diperkirakan selesai pada Maret tahun ini.
  • Meskipun kondisi LNG dunia kelebihan pasokan, proyek ini dinilai masih ekonomis dan strategis.
  • Kinerja ENI selama pandemi Covid-19 terpuruk sehingga butuh insentif pemerintah untuk menggarap IDD Tahap II. 

Nasib proyek laut dalam, yang kerap disebut Indonesia Deepwater Development alias IDD Tahap II, masih belum jelas. Chevron, selaku operator proyek, memutuskan hengkang pada tahun lalu. Hingga kini negosiasi dengan calon penggantinya, yaitu ENI, terus berlangsung. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya meminta agar proses alih kelola itu dapat selesai pada kuartal pertama tahun ini. “Kini masih negosiasi antara ENI dan Chevron,” katanya pada awal bulan lalu. 

Posisi ENI dalam mengambil blok migas ini cukup strategis. Perusahaan energi asal Italia ini telah memiliki fasilitas produksi tak jauh dari IDD, yaitu Blok Muara Bakau dan Lapangan Merakes, Blok East Sepinggan, Kalimantan Timur. Sedangkan IDD berlokasi di Cekungan Kutai, provinsi yang sama. 

SKK Migas meyakini masuknya ENI bakal membuat rencana pengembangan proyek laut dalam menjadi lebih baik. Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno menargetkan proses alih kelolanya dapat rampung pada Maret 2021. 

Keputusan ENI nantinya akan sangat menentukan target operasional (onstream) proyek migas itu. Patokan pemerintah, IDD Tahap II akan mulai berproduksi pada 2025. “Kalau tidak deal tahun ini ya mundur onstream-nya. Jalannya masih panjang,” ujar Julius kepada Katadata.co.id, Rabu (3/2).

Sejauh ini, ENI tetap berkomitmen mengembangkan proyek itu. Julius berharap proyek IDD nantinya dapat menopang kebutuhan produksi siap jual atau lifting migas nasional dalam jangka panjang. 

Masalah lain yang membayangi proyek ini adalah persaingan ketat gas alam cair atau LNG global. Penyebabnya, banyak proyek LNG dunia yang berproduksi pada saat bersamaan.

Belum lagi, permintaan energi sedang melemah karena pandemi Covid-19. Kedua kondisi tersebut dapat membuat pasar menjadi kelebihan pasokan atau oversupply.

SKK Migas berupaya menyiasatinya dengan menerapkan strategi pemasaran LNG, baik jangka pendek hingga panjang. “Kami akan sesuaikan dengan kondisi pasar global, sambil tetap memprioritaskan kebutuhan domestik,” ucap Deputi Monetisasi dan Keuangan SKK Migas Arief Setiawan Handoko beberapa waktu lalu. 

Produksi LNG di Tanah Air masih bergantung pada operasional dua kilang, yakni Bontang (Kalimantan Timur) dan Tangguh (Papua). Arief mengatakan keduanya memproduksi sekitar 200,74 kargo LNG pada tahun ini.

Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR siang ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut proyek IDD Tahap II  mencakup Lapangan Gendalo dan Gehem. Target produksinya tetap di 2025 dengan jumlah 855 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas dan 27 ribu barel minyak per hari (BOPD).

Nilai investasi proyek itu mencapai US$ 6,98 miliar atau sekitar Rp 97,8 triliun. Dwi mengatakan ENI menjadi perusahaan yang paling potensial menggantikan Chevron. “Kalau ENI masuk (ke IDD), kemungkinan akan ada integrasi ke seluruh fasilitas di Cekungan Kutai (Kalimantan),” ucapnya. Harapannya, tahun ini dapat terpilih operator baru sehingga proses revisi rencana pengembangan atau PoD pun segera selesai. 

ENI juga sudah memiliki pengalaman mengerjakan proyek lepas pantai atau offshore di laut dalam. Proyek yang serupa yang perusahaan sedang kerjakan berada di Myanmar dan Angola. 

Rig Offshore Sumur Tambakboyo-3
Ilustrasi lapangan migas lepas pantai atau offshore.  (Wahyu Dwi Jayanto|KATADATA)

Gas Proyek IDD untuk Domestik

Wakil Komisi VII DPR RI Eddy Suparno mendorong agar proyek IDD bisa terlaksana dengan cepat. Sinyal ENI akan masuk ke blok migas ini merupakan angin segar untuk investasi migas yang sedang terpuruk.

Ia tak mengkhawatirkan terkait kondisi oversupply gas yang diproyeksi bakal membanjiri dunia. Pemanfaatannya dapat dimaksimalkan untuk kebutuhan domestik. "Karena kebutuhannya besar," kata dia kepada Katadata.co.id.

Pengamat energi Fahmi Radhi memproyeksi permintaan LNG masih akan turun akibat pandemi Covid-19. Di sisi lain, agregat pasar dalam negeri dan luar negeri sesungguhnya masih sangat besar. 

Apalagi, gas termasuk energi ramah lingkungan sehingga tidak ada resistensi dalam hal pemanfaatannya. Dengan kondisi itu, ia melihat, proyek IDD sangat prospektif. "Tidak mengherankan kalau Chevron dan Eni akan melanjutkan proyek IDD," ucapnya. 

Untuk menarik investasi, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan agar proyek itu dapat terealisasi. Apabila terus molor, maka kebutuhan dananya akan makin besar. 

Chevron saat ini memiliki 62% saham di IDD, sisanya dikuasai oleh ENI 20% dan Sinopec (asal Tiongkok) 18%. Terdapat lima lapangan gas yang akan dikembangkan dalam proyek ini, yaitu Lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha, dan Gandang.

Lapangan Bangka telah berproduksi sejak Agustus 2016 dengan kapasitas terpasang 110 juta kaki kubik gas dan 4 ribu barel per hari. Namun, Chevron memilih tidak melanjutkan IDD tahap kedua.

Keputusan itu sudah santer terdengar pada 2015 ketika harga minyak dunia turun. Harganya semakin memburuk saat ini di tengah pandemi Covid-19 yang menurunkan konsumsi dan permintaan minyak.

Manager Corporate Communication Chevron Pacific Indonesia Sonitha Poernomo mengatakan proyek ini tidak lagi masuk secara hitungan keekonomian. IDD Tahap II tak dapat bersaing dengan portofolio global Chevron untuk mendapatkan pendanaan.

Perusahaan lalu mencari operator penggantinya. "Kami percaya proyek ini akan memiliki nilai untuk operator lain, agar Kutai Basin dapat terus dikembangkan dengan selamat dan bertanggung jawab," kata dia beberapa waktu lalu.

Blok Migas Lepas Pantai Pertamina Hulu Energi
Ilustrasi lapangan migas lepas pantai atau offshore.  (Pertamina Hulu Energi)

ENI Butuh Insentif Untuk Garap IDD

Dampak pandemi Covid-19 membuat ENI mencatat kerugian bersih sepanjang kuartal ketiga 2020 sebesar US$ 7,83 miliar (sekitar Rp 111,3 triliun). Realisasi itu berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu ketika perusahaan meraih untung sebesar US$ 2,03 miliar.

Total pinjaman bersih setelah kewajiban sewa perusahaan naik dari US$ 18,51 miliar menjadi US$ 19,85 miliar. Di sisi lain, belanja modal perusahaan turun dari US$ 5,58 miliar menjadi US$ 3,76 miliar.

Turunnya kinerja ini seiring dengan merosotnya harga minyak mentah dunia. ENI mencatat harga minyak Brent sepanjang kuartal tiga lalu berada di level US$ 40,82 per barel. Pada periode yang sama tahun lalu harganya di US$ 64,66 per barel.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal sebelumnya menyebut kinerja ENI saat ini sangat terpukul. Keputusan perusahaan masuk ke proyek IDD tentu membutuhkan belanja modal dan operasional yang banyak.

Untuk mengukuhkan minat ENI, pemerintah harus menggelontorkan insentif yang signifikan. Misalnya, tax holiday, perubahan bagi hasil alias split, accelerated depreciation, dan harga kewajiban untuk dalam negeri (DMO) yang menarik.

Moshe menyebut, dari segi finansial akan sangat berat, apalagi ENI kemungkinan akan menanggung lebih dari 80% biaya di awal proyek. "Keekonomian lapangan yang perlu ditekankan, IDD ini proyek mahal," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...