Cina Tutupi Teknologi, RI Kesulitan Olah Logam Tanah Jarang
Kementerian ESDM menyatakan masih kesulitan dalam pemanfaatan logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element di Indonesia. Padahal, negeri ini memiliki potensi sisa hasil pengolahan mineral timah yakni monasit yang dapat diekstraksi menjadi logam tanah jarang.
Peranan teknologi dalam pemanfaatan logam ini sangat penting. Saat ini Cina yang merupakan produsen logam tanah jarang terbesar dunia masih menutupi teknologi dalam memanfaatkan mineral langka ini. Negara-negara lain masih tertinggal dalam memanfaatkan logam tanah jarang.
"Cina tak terbuka karena mereka mencoba menciptakan industri produsen logam tanah jarang. Sehingga mereka bisa menguasai produksinya," kata Deputi Direktur Pengawasan Eksplorasi Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Andri B. Firmanto, Senin (13/12).
Kementerian ESDM juga telah melakukan perhitungan jumlah kandungan monasit di wilayah Bangka pada tahun ini. Adapun setelah perhitungan tersebut selesai, dia berharap PT Timah dapat menjadi salah satu BUMN yang dapat mengumpulkan atau membeli monasit di Indonesia.
Kementerian ESDM sendiri telah membuat rencana aksi untuk pemanfaatan monasit dan Sisa Hasil Produksi (SHP) Timah. Misalnya, pada 2022 pemerintah berharap supaya PT Timah dapat memilih teknologi untuk mengolah monasit.
Selain itu, PT Timah diharapkan juga dapat melakukan konstruksi pembangunan fasilitas pengolahan untuk monasit dan sisa hasil produksi timah. Sehingga pada 2026 mendatang, BUMN tambang ini mampu memproduksi logam tanah jarang untuk pertama kali. "Harapannya pada 2026 PT Timah bisa menciptakan nanti masuk di industri dirgantara dan sebagainya bisa dengan mudah," katanya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli sebelumnya berpendapat di Indonesia mempunyai karakteristik yang unik. Umumnya, logam tanah jarang di Indonesia sebagai mineral ikutan dari mineral utama seperti di nikel, timah, tembaga, bauksit dan zirkon.
Namun, hingga kini belum ada data dan informasi yang cukup memadai dalam menghitung potensi logam tanah jarang sebagai mineral ikutan tersebut. Begitu juga bagaimana karakteristik dan spesifikasinya, serta bagaimana teknis penambangan dan pengolahannya.
Sehingga, bila pemerintah berencana membuat regulasi terkait logam tanah jarang, maka ada beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah harus mengintensifkan kegiatan studi dan penelitian untuk mengidentifikasi potensi melalui eksplorasi logam tanah jarang di Indonesia, melalui kegiatan eksplorasi.
Kedua, kegiatan eksplorasi bisa dilakukan dengan menunjuk badan Pemerintah seperti Badan Geologi, BUMN/BUMD dan swasta.
Ketiga, pemerintah sebaiknya membuka pintu kepada BUMN dan swasta yang memiliki Izin Usaha Pertambangan untuk melakukan studi dan penelitian mandiri mengenai logam tanah jarang.
"Hal ini, selain akan mengurangi beban keuangan negara, BUMN dan swasta umumnya memiliki sumberdaya yang memadai untuk melakukan hal tersebut," kata Rizal kepada Katadata.co.id, Senin (13/9).
Keempat, pemerintah sebaiknya memberikan insentif kepada BUMN dan Swasta yang melakukan studi dan penelitian atas potensi logam tanah jarang, dengan ketentuan BUMN dan Swasta berkewajiban untuk melaporkan hasil studi dan penelitiannya ke pemerintah.
Kelima, pemerintah mengintensifkan studi teknologi pengolahan dan pemanfaatan logam tanah jarang untuk industri strategis dan vital di dalam negeri. Pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau lembaga penelitian lainnya dan universitas untuk melakukan riset dan penelitian untuk mengembangkan teknologi pengolahan dan pemurnian dalam negeri.
Keenam, pemerintah perlu menyusun roadmap logam tanah jarang Indonesia dimulai dari identifikasi potensi logam tanah jarang, kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan hingga hilirisasi logam tanah jarang ke skala industri dalam negeri.