Transisi Energi: Pengertian, Manfaat, dan Teknologinya
Transisi energi menjadi salah satu topik utama yang diangkat dalam presidensi G20 Indonesia. Hal ini tentu menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukan kepada dunia atas dukungan terhadap transisi energi yang dapat dilihat lewat prototipe dan dukungan finansialnya, sehingga dapat direplikasikan dalam sejumlah program sejenis lainnya.
Lalu, apa sebenarnya transisi energi dan bagaiman manfaatnya?
Pengertian Transisi Energi
Transisi energi merupakan upaya dalam menekan risiko pemanasan global yang berpotensi mengancam kehidupan yang layak di masa mendatang.
Transisi energi adalah jalan menuju transformasi sektor energi global menjadi nol-karbon. Hal ini mengacu pada pergeseran sektor energi global dari sistem produksi dan konsumsi energi berbasis fosil (gas alam, minyak, dan batu bara) ke sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, dan baterai lithium-ion.
Meneruskan catatan International Renewable Agency, transisi energi merupakan transformasi energi yang sebelumnya berbasis bahan bakar fosil menjadi energi hijau yang lebih ramah lingkungan.
Sebenarnya, transisi energi bukanlah hal baru dalam sejarah dunia. Hal yang sama pernah dilakukan ketika mengganti penggunaan kayu ke batu bara pada abad 20. Hanya saja, di masa sekarang urgensi transisi energi menjadi lebih meningkat. Hal tersebut tak lain guna melindungi planet dari risiko perubahan iklim.
Pentingnya transisi energi di masa sekarang didorong oleh berbagai faktor, di antaranya tingginya penetrasi energi terbarukan ke dalam bauran energi global, peningkatan teknologi dan penyimpanan energi, serta dimulainya elektrifikasi.
Di samping itu, isu ini semkain berkembang karena para pemodal mulai banyak yang memprioritaskan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola. Di sisi lain, peran pemerintah juga dibutuhkan untuk membuat transisi energi dapat terwujud dengan baik.
Urgensi Transisi Energi
Mengutip transisienergi.id, urgensi transisi energi terjadi karena tiga hal, yakni perubahan iklim, gas rumah kaca, dan desentralisasi energi.
- Perubahan Iklim: perubahan pola cuaca rata-rata jangka penjang yang menentukan iklim lokal hingga global bumi.
- Gas Rumah Kaca: Gas ini memiliki sifat menyerap radiasi inframerah yang dilepaskan oleh permukaan bumi, lalu memancarkannya kembali ke permukaan bumi, sehingga membuat bumi semakin panas.
- Desentralisasi Energi: Hal ini merupakan upaya untuk mencapai solusi akses listrik ke berbagai daerah di Indonesia. Dengan begitu, setiap daerah dapat menghasilkan dan mengonsumsi sumber daya secara mandiri sesuai kebutuhan masing-masing.
Mengapa Transisi Energi Perlu Dilakukan
Akselerasi transisi energi di Indonesia perlu dilakukan dengan berbagai alasan, yaitu:
1. Perubahan Iklim
Hal ini merupakan alasan terbesar di balik getolnya upaya transisi energi. Sektor energi merupakan kontributor perubahan iklim paling dominan yang menyumbang hampir 90% dari emisi CO2 secara global.
2. Negosiasi Iklim Internasional
Paris Agreement (kesepakatan para peserta COP ke-21 di Paris tahun 2015 untuk menahan peningkatan suhu bumi) mewajibkan setiap negara anggota untuk mengambil peran dalam komitmen perubahan iklim, yang diwujudkan dengan penetapan Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing.
3. Teknologi dan Penggunaan Energi Baru
Dengan adanya pertumbuhan penggunaan energi terbarukan di tingkat global, penelitian dan pengembangan atas teknologi yang tersedia semakin meningkat. Sehingga, teknologi energi terbarukan semakin beragam, berkualitas dan efisien.
Selain ketiga hal di atas, kondisi geopolitik dan ekonomi juga menjadi alasan pentingnya transisi energi, seperti desentralisasi pembangkit listrik, tren investasi terbarukan, pengadaan untuk instalasi pembangkit energi terbarukan, kebebasan dari ketergantungan fosil, serta perubahan perilaku konsumer listrik.
Teknologi Transisi Energi
Meneruskan catatan Transisi Energi, terdapat tiga teknologi yang dapat mendukung kelancaran progrm transisi energi, yaitu:
Carbon Capture and Storage (CCS)
Hal ini merupakan proses di mana karbon dioksida yang berasal dari pembakaran pembangkit listrik dan sumber industri lainnya, dikompresi dan disuntikan ke dalam formasi geologi bawah tanah. Namun, teknologi ini masih menjadi perdebatan.
Solar Photovoltaics (PV)
Solar Photovoltaics merupakan teknologi berbahan dasar material semikonduktor untuk mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik.
Bioenergi merupakan energi terbarukan yang diperoleh dari sumber biologis, yaitu biofuel (biodiesel dan bioetanol), biogas, dan biomassa padat yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, pembangkit listirk, dan menciptakan panas.
Transisi Energi Indonesia
Mengutip laman Kemeterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki target Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional 2025. Kebijakan tersebut dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada 2030.
Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu menyampaikan sampai dengan semseter I tahun 2020, total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional telah mencapai 71 gigawatt (GW). Pembangkit listrik berbasis batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Tanah Air. Sedangkan, pembangkit listrik EBT meraup porsi 14,69% dari total kapasistas pembangkit listrik nasional.
Di samping itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemerintah telah mempertegas komitmennya untuk menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK). Selain itu, akan berkontribusi lebih cepat bagi pencapaian target net zero emission (nol emisi karbon) dunia melalui transisi energi.
Indonesia memiliki potensi EBT cukup melimpah yang diperkirakan lebih dari 3.000 GW yang bersumber dari tenaga surya, angin, hidro, panas bumi, bio energi, dan energi laut.
"Potensi dan teknologi EBT merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060," ujar Arifin dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Selasa (21/12), seperti dikutip Katadata.