Harga Minyak Melambung, Belanja Subsidi Energi Berpotensi Membengkak
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mewaspadai harga minyak yang terus menanjak mendekati level US$ 100 per barel. Kenaikan harga minyak akan berdampak pada beban subsidi energi yang harus dibayarkan pemerintah.
Berdasarkan data Bloomberg per pukul 12.14 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman April 2022 berada di level US$ 93,16 per barel, sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman maret 2022 berada di level US$ 91,06 per barel.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan kenaikan harga minyak akan berdampak pada penerimaan negara. Namun di sisi lain, kenaikan harga minyak juga berdampak pada pengeluaran negara dalam bentuk subsidi.
"Kalau sudah mendekati US$ 100 per barel, perlu hati-hati. Dari segi penerimaan memang bertambah, tetapi dampak ke subsidi BBM dan LPG juga sangat besar," ujarnya dalam Energy Corner, Senin (21/2).
Tutuka belum dapat memastikan berapa biaya yang akan ditanggung pemerintah jika harga minyak dunia tembus ke level US$ 100 per barel. Namun, Kementerian ESDM bersama dengan Kementerian Keuangan tengah menghitung dampak dari kenaikan harga minyak dunia bagi keuangan negara.
"Kami sudah estimasi dengan Kemenkeu agar lebih pasti. Harus teliti dan cermat dengan subsidi ini karena kenaikan ICP ini bisa tidak mencukupi dari subsidi. Angkanya harus kita hitung lebih detail," ujarnya.
Harga minyak pada Senin (14/2) mencapai level tertinggi dalam lebih dari tujuh tahun. Hal ini terjadi di tengah kekhawatiran invasi Ukraina oleh Rusia yang dapat memicu sanksi dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Sanksi ini dikhawatirkan mengganggu pasokan minyak di kondisi pasar yang sudah ketat.
Minyak mentah berjangka Brent saat itu mencapai di US$ 95,56 per barel, naik $1,12, atau 1,2%, setelah sebelumnya mencapai puncak $96,16, tertinggi sejak Oktober 2014. Minyak West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 1,28, atau 1,4%, menjadi US$ 94,38 per barel, tertinggi sejak September 2014.
Amerika Serikat menilai serangan Rusia ke Ukraina telah mengguncang pasar keuangan global. Rusia dinilai dapat menyerang Ukraina kapan saja dan mungkin membuat dalih mengejutkan untuk melakukan serangan.
"Jika mobilisasi pasukan terjadi, minyak mentah Brent tidak akan sulit naik di atas level US$ 100. Harga minyak akan tetap sangat fluktuatif dan sensitif terhadap perkembangan situasi Ukraina," kata analis OANDA Edward Moya, seperti dikutip Reuters, Senin (14/2).