Tarif Listrik Tetap Bisnis dan Industri jadi Momentum Bangkitkan UMKM
Naiknya tarif listrik untuk kelompok rumah tangga mampu dengan daya 3.500-6.600 Volt Ampere (VA) ke atas dinilai sebagai momentum untuk menghidupkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, mengatakan UMKM dan industri rumahan dapat melakukan migrasi dari pelanggan golongan rumah tangga ke golongan bisnis dan industri.
"Apakah di pelanggan 3.500 VA ada pelaku UMKM? Misalnya ada, ini sebagai momentum untuk migrasi ke golongan pelanggan bisnis dan industri karena golongan tersebut diberikan insentif listrik yang jauh lebih rendah dari golongan rumah tangga R2 (3.500-5.500 VA) dan R3 (6.600 VA ke atas)," kata Abra Selasa (14/6).
Adapun tarif listrik untuk golongan rumah tangga R2 dan R3 naik dari sebelumnya Rp 1.444,7 per kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Menurut catatan PLN, penlanggan rumah tangga R2 mencapai 1,7 juta pelanggan dan R3 ada 316 ribu pelanggan.
Abra menambahkan, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik bagi golongan bisnis dan industri dinilai sebagai bentuk memberikan stimulus kepada para pelaku UMKM. Ia berharap, pada praktiknya, para pelaku bisnis rumahan yang akan mengajukan migrasi bisa memperoleh layanan yang baik.
"Momemtum pembenanahan UMKM diberikan kebijakan yang afirmatif. Jangan sampai ada keluahan ingin pinda daya ke golongan bisnis tapi malah merepotkan," sambung Abra.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan tarif listrik bagi golongan bisnis dan industri tak akan naik. Darmawan menyebut, tidak dianaikkannya tarif listrik untuk golongan bisnis dan industri dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menekan angka inflasi.
"Untuk golongan bisnis dan industri tidak dilakukan penyesuaian tarif karena dipertimbangkan untuk mendorong perekonomian. Mereka baru pemulihan pascapandemi dan kami tidak menaikkan tarifnya," sambung Darmawan kepada wartawan di Gedung Kementerian ESDM Jakarta, Senin (13/6).
Dia menambahkan, penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan untuk melindungi daya beli masyarakat dan menekan laju inflasi. Ia menyebut, sejak tahun 2017 hingga 2021, pemerintah telah mengeluarkan subsidi untuk listrik sekitar Rp 234 triliun dan kompensasi Rp 94,17 triliun.
Mayoritas dari subsidi yang dikeluarkan oleh pemeritah dinilai tidak tepat sasaran karena sejumlah rumah tangga golongan ekonomi mampu juga menjadi penerima dari jatah subsidi listrik. Sepanjang 2017-2021, total kompensasi untuk kategori pelanggan tersebut mencapai Rp 4 triliun.
Darmawan menjelaskan, kenaikan tarif listrik dihitung dari adanya kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang dihitung dari nilai kurs rupiah, harga minyak mentah Indonesia (ICP), inflasi, dan harga batu bara.
Pada kesempatan tersebut, Darmawan menyampaikan, tiap kenaikan harga sebesar US$ 1, berakibat pada kenaikan BPP sebesar Rp 500 miliar. "Sehingga pada tahun 2022 saja, diproyeksikan pemerintah perlu menyiapkan kompensasi sebesar Rp 65,9 triliun," tukasnya.