LSM Soroti Ancaman Pidana Aktivitas Pertambangan dalam Perppu Ciptaker
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti ancaman pidana terkait aktivitas pertambangan dalam Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tenang Cipta Kerja atau Perppu Ciptaker. Regulasi tersebut berpotensi merugikan warga yang menetap di sekitar area tambang dan aktivis lingkungan yang menolak aktivitas pertambangan.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rere Christanto, mengatakan Pasal 162 dalam Perppu Ciptaker sama persis UU Cipta Kerja tahun 2020. Aturan tersebut mengatur sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Ancaman tersebut bagi orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB).
Rere mengatakan aturan tersebut dibuat tanpa melibatkan pastisipasi masyarakat. Padahal Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki proses pembuatan aturan dengan melibatkan masyarakat.
"Tapi tiba-tiba diubah ke dalam bentuk Perppu yang menerabas semua upaya yang harusnya dilakukan pemerintah yaitu perbaikan UU Cipta Kerja," kata Rere saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (4/1).
Rere mengatakan penerapan Pasal 162 Perppu Ciptaker berpotensi melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan di area tempat tinggalnya.
Berdasarkan catatan Walhi, sebanyak 21 warga mengalami korban kriminalisasi sejak aturan itu diatur di UU Minerba Tahun 2020. Mayoritas korban adalah warga yang menolak kehadiran aktivitas pertambangan.
Pasal itu bisa digunakan untuk menjerat pihak yang kontra dengan aktivitas tambang meski tindakan mereka tak mengganggu jalannya produksi di area kerja pertambangan.
Hal ini merujuk pada aksi protes yang dilakukan oleh sebagian warga Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, yang menolak kehadiran tambang pasir lewat aksi membentangkan spanduk di bantaran kali Progo.
"Saat itu warga hanya membentangkan spanduk, aktivitas pertambangan pasir juga masih beroperasi. Warga tidak ada yang menghalang-halangi aktivitas produksi atau menutup akses jalan, tapi kemudian mereka dilaporkan dengan Pasal 162 ini," ujar Rere.
Hal yang sama disampaikan Kordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, Melky Nahar. Jatam mencatat aturan Pasal 162 menjerat tiga warga di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauaun, Sulawesi Tenggara dan 22 warga di Bangka Belitung.
"Pasal ini semacam pasal karet, praktiknya sering dipakai untuk membungkam dan mematikan perlawanan warga," kata Melky.
Melky menjelaskan, Pasal 162 UU Minerba ini merujuk kepada Pasal 86F huruf P dan Pasal 136 ayat 2 ihwal proses penyelesaian hak atas tanah. Namun, Pasal 162 juga bertentangan dalam regulasi lain, seperti pasal perlindungan bagi warga yang memperjuangkan lingkungan hidup di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Wahli dan Jatam berharap DPR RI mempelajari urgensi Perppu Ciptaker. Pengesahan Perppu bakal menjadi preseden buruk karena meloloskan aturan yang sebetulnya di sudah dibatalkan melalui MK.
Sebelumnya, MK telah menetapkan bahwa pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil sehingga bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Pada akhir 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Ciptaker.