Pengembangan Blok Tuna Tahun Ini Mandek, Terdampak Sanksi Uni Eropa
Rencana pengembangan Blok Tuna tahun ini kemungkinan tersendat. Hal ini lantaran sanksi Uni Eropa dan pemerintah Inggris terhadap Rusia yang ikut dirasakan oleh Zarubezhneft, perusahaan Rusia yang menjadi mitra Premier Oil Tuna BV, dalam mengembangkan lapangan tersebut
Dalam pertemuan awal tahun ini dengan SKK Migas, Harbour Energy - perusahaan induk Premier Oil Tuna BV - mengungkapkan bahwa rencana tersebut menghadapi pembatasan dari Uni Eropa dan Pemerintah Inggris. Sanksi tersebut merupakan respon atas invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu.
“Rencana pengembangan dipengaruhi oleh sanksi Pemerintah UE dan Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu kepada mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” kata manajemen dalam laporan tahunannya, dikutip Senin (13/3).
Zarubezhneft adalah perusahaan minyak dan gas milik negara Rusia, yang menjadi mitra Premier Oil Tuna dalam mengembangkan Blok Tuna. Melalui anak perusahaannya ZN Asia Ltd, Zarubezhneft memegang 50% hak partisipasi di wilayah kerja tersebut.
Harbour Energy menyatakan akan bekerja sama dengan mitra Rusia-nya tersebut untuk mencari solusi agar rencana pengembangan Lapangan Tuna dapat terealisasi tahun ini. SKK Migas juga sedang menjajaki cara untuk memitigasi dampak sanksi tersebut terhadap rencana pengembangan Blok Tuna.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, sanksi itu akan menghambat rencana agresif pengembangan Blok Tuna tahun ini. “Tentu (rencana pengembangan) akan tertunda. Kami sedang menjajaki langkah-langkah tindak lanjut,” ujarnya.
Sebelumnya, Premier Oil berhasil menemukan cadangan migas yang terletak di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam pada November 2021. Lalu pada awal 2023, pemerintah telah memberikan persetujuan rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna.
Biaya investasi untuk pengembangan Blok Tuna tediri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar US$ 1,050 miliar atau setara Rp 16,35 triliun dengan kurs Rp 15.574 per dolar AS.
Sementara investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit mencapai US$ 2,020 miliar atau Rp 31,45 triliun dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$ 147,59 juta atau setara dengan Rp 2,29 triliun.
Dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun.
Adapun Kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar. Pemerintah juga memberikan beberapa insentif untuk mendorong keekonomian Lapangan Tuna yang memiliki risiko yang tinggi.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan dan mampu menarik investor dunia.
Meskipun lokasi Lapangan Tuna memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan Pemerintah, maka dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna sehingga POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan.
“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$ 3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp 45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional," kata Dwi pada Senin (2/1).