Tren Penjualan Meningkat, Kuota Elpiji 3 Kg Bersubsidi Tersisa 42%
Pertamina mencatat penjualan gas elpiji bersubsidi 3 kilogram (kg) cenderung meningkat. Penjualan pada Juli berada di angka 700.000 metrik ton, naik 1,5% dibandingkan bulan sebelumnya 690.000 metrik ton. Kenaikan ini didorong peningkatan aktivitas masyarakat pada libur nasional hari raya pada pertengahan Juli lalu.
Adapun penjualan elpiji 3 kg hingga 31 Juli telah menyentuh 4,6 juta metrik ton atau 58% dari kuota tahunan. "Libur nasional itu menyebabkan berkumpulnya masyarakat sehingga ada peningkatan permintaan," kata Direktur Logistik dan Infrastruktur Pertamina, Alfian Nasution dalam konferensi pers daring pada Kamis (3/8).
Meski penyaluran elpiji 3 kg telah menyentuh lebih dari separuh kuota tahunan, Alfian menjamin stok elpiji melon masih tahan hingga 15 hari operasi. Dia memproyeksikan durasi ketahanan stok elpiji bersubsidi bakal bertahan hingga akhir 2023. "Stok cukup aman, sampai akhir tahun kami akan jaga hingga 15 hari," ujar Alfian.
Informasi mengenai ketahanan pasokan elpiji bersubsidi diharapkan dapat menekan kekhawatiran masyarakat mengenai isu kelangkaan elpiji di sejumlah daerah di Jawa Timur seperti Malang, Kediri, dan Banyuwangi. Isu kelangkaan juga berhembus hingga Medan dan beberapa daerah di Sulawesi.
Masalah Distribusi, Bukan Pasokan
Kementerian ESDM menyampaikan adanya kendala sosialisasi dan mekanisme distribusi yang mendorong munculnya isu kelangkaan elpiji tabung 3 kg di sejumlah daerah. Hal itu bermula dari kebijakan pemerintah yang mematok penyaluran elpiji bersubsidi kepada pengecer maksimal 20% sejak Maret 2023.
Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji mengaku bahwa pemerintah kurang maksimal dalam mensosialisasikan informasi mengenai kebijakan tersebut. Masyarakat yang tidak mendapatkan elpiji 3 kg di pengecer harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan elpiji bersubsidi ke pangkalan resmi.
"Tampaknya ada sosialisasi yang kurang kencang, sehingga masyarakat harus ke pangkalan. Di daerah tertentu ini jadi masalah," kata Tutuka di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (31/7).
Tutuka mengatakan, kebijakan pengetatan distribusi bertujuan untuk menciptakan iklim penyaluran tepat sasaran. Dia optimistis, regulasi tersebut akan membuat penyaluran elpiji 3 kg lebih tepat sasaran kepada sektor rumah tangga kurang mampu sekaligus mencegah kebocoran elpiji bersubsidi ke rumah makan maupun restoran.
"Saat ini memang pengambilannya butuh waktu. Masyarakat jauh kalau harus ke pangkalan. Antre dan jadi susah. Kalau untuk tabungnya cukup. Ini persoalan distribusi," ujar Tutuka.
Pertamina menghitung serapan elpiji bersubsidi 3 kg hingga akhir tahun ini akan berada di angka 8,22 juta metrik ton. Besaran tersebut lebih tinggi 2,7% dari alokasi kuota tahunan sejumlah 8 juta metrik ton.
Lonjakan permintaan gas bersubsidi dilatarbelakangi oleh lebarnya disparitas harga jual antara elpiji tabung melon dan elpiji non subsidi yang menyentuh Rp 17.750 per kg. Pertamina melaporkan lonjakan konsumsi elpiji telah terasa sejak Mei dengan kenaikan permintaan hingga 5% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Kementerian ESDM melaporkan adanya migrasi konsumen yang menyebabkan penurunan serapan elpiji non subsidi alias non public service obligation (NPSO) dalam waktu empat tahun terakhir. Penyusutan serapan itu disebabkan oleh praktik oplosan di pangkalan yang kian marak.
Koordinator Subsidi Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi (Migas), Christina Meiwati Sinaga, menjelaskan bahwa pihaknya kerap menemukan praktik pemindahan isi elpiji bersubsidi tabung 3 kg ke tabung elpiji 5,5 kg maupun tabung 12 kg.
"Kami sampaikan praktiknya memang tetap menggunakan tabung elpiji 12 kg, tapi isi dari tabung itu bersumber dari elpiji bersubsidi. Dipindahkan, istilahnya dioplos," kata Christina dalam Sosialisasi Pendistribusian Isi Ulang LPG Tabung 3 Kg Tepat Sasaran yang disiarkan secara daring pada Jumat (9/6).