Harga Kobalt Global Merosot 59%, Mengapa Pasokannya Terus Digenjot?

Mela Syaharani
7 Desember 2023, 15:08
Harga kobalt merosot akibat pasokan global melimpah.
123rf.com/luizrocha
Harga kobalt merosot akibat pasokan global melimpah.

Harga kobalt mengalami penurunan sekitar 59% dalam 18 bulan terakhir. Kondisi ini terjadi akibat kelebihan pasokan atau oversupply barang tambang tersebut di beberapa negara.

Berdasarkan data Trading Economics, harga kobalt mulai turun pada akhir Mei 2022. Angkanya pernah mencapai hampir US$ 82 ribu per ton saat Maret 2022. Pada awal Desember ini, harganya merosot di level Rp 33 ribu per ton. 

Anjloknya harga kobalt tak menurunkan produksinya. Laporan Reuters, Kamis (7/12), menyebut tambang kobalt di Cina masih meningkatkan produksi meskipun harganya merosot. Pengusaha di sana mendapat dukungan pemerintah setempat karena komoditas ini dianggap penting bagi industri kendaraan listrik (EV) Negeri Panda. 

CMOC Group Tiongkok meningkatkan produksinya sebesar 144% selama tiga kuartal pertama 2023. Perusahaan kini menjadi produsen kobalt terbesar di dunia, menyalip grup tambang asal Swiss, Glencore. 

Analis konsultan Benchmark Mineral Intelligence Jorge Uzcategui mengatakan CMOC akan meningkatkan pangsa pasarnya dari 11% pada 2022 menjadi 30% pada 2025. "Apakah CMOC mencoba membanjiri pasar untuk menguasai dan menyingkirkan produsen marjinal sehingga memberi kendali lebih besar terhadap harga dalam jangka menengah dan panjang? Itu mungkin saja," ucapnya, dikutip dari Reuters, Kamis (7/12).

Pemasok 70% kobalt global, yaitu Republik Demokratik Kongo (DRC), juga masih terus melakukan ekspansi. Lalu, Indonesia sebagai produsen terbesar kedua di dunia masih dapat meningkatkan produksinya lebih dari 10 kali lipat pada 2030. 

Menanggapi hal tersebut, pihak CMOC menyebut ada aspek positif dari peningkatan produksinya. "Produk kobalt kami sebagian besar dijual melalui kontrak jangka panjang dan tidak terpengaruh fluktuasi pasar jangka pendek," kata juru bicara perusahaan. 

Sebagai informasi, kobalt merupakan logam berwarna biru keperakan dan menjadi bahan baku untuk pembuatan baterai lithium-ion EV. Pasar kini khawatir produksi baterai akan melambat seiring dengan melemahnya penjualan kendaraan listrik. Baterai tanpa mineral juga semakin populer.

Meskipun harga kobalt turun dan dapat menghidupkan kembali penggunaannya dalam baterai, namun kepopuleran baterai nikel mangan kobalt (NMC) juga telah merosot. Baterai litium besi fosfat yang tidak mengandung logam justru pamornya sedang naik. 

Dalam catatan Morgan Stanley, akan terjadi surplus sebesar 74.800 metrik ton kobalt pada 2024. Hal ini terjadi karena pasokan olahan kobalt global naik 23% pada tahun ini. 

Glencore telah menurutp sementara tambang Mutanda, DRC, pada 2019 karena harganya yang rednah. Perusahaan tidak akan melakukan tindakan serupa dalam waktu dekat, meskipun produksinya sepanjang tahun ini tidak menunjukkan tanda-tanda pengurangan. 

Di tengah surplus, proyek-proyek baru muncul, termasuk di Indonesia. "Pandangan kami, Indonesia adalah pengubah permainan kobalt global," kata Bedder dari Project Blue. 

Republik ini diperkirakan akan meningkatkan produksi kobalt dalam bentuk endapan hidroksida campuran (MHP) sebanyak empat kali lipat pada 2033. MHP merupakan produk perantara yang dapat dikonversi menjadi nikel sulfat untuk membuat baterai kendaraan listrik. Indonesia saat ini sedang menggenjot industri EV dari hulu ke hilir. 

Dengan kondisi semua itu, pasokan kobalt global diperkirakan akan terus berlimpah. "Harga akan tetap rendah di masa mendatang," kata Thomas Matthews dari CRU.

Reporter: Mela Syaharani
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...