Kemenkeu Koreksi Lagi Target Lifting Minyak 2025 Jadi 601 Ribu Bph
Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 telah mematok target lifting minyak dan gas pada 2025. Jika dibandingkan dengan APBN 2024, angka lifting dalam KEM PPKF lebih rendah.
“Dengan mencermati tensi geopolitik yang saat ini masih berlanjut maka lifting minyak bumi 580 ribu sampai 601 ribu barel per hari dan lifting gas 1.004-1.047 ribu barel setara minyak per hari,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pidatonya saat Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (20/5).
Lifting migas merupakan volume produksi minyak dan gas bumi yang siap untuk dijual. Sebelumnya, pemerintah telah menetapkan target lifting migas 2025 dengan lifting minyak dipatok 635 juta barel per hari (bph) sedangkan gas ditetapkan 5.785 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 1.033 juta barel setara minyak per hari (bsmph).
Apabila target lifting minyak dibandingkan menggunakan rentang tertinggi (601 ribu bph), maka target lifting minyak dalam KEM-PPKF 2025 menurun 5,35%. Sementara untuk gas jika menggunakan rentang tertinggi (1047 bsmph) meningkat 1,35%.
Ini bukan kali pertama penurunan target lifting terjadi. Sebab, target lifting APBN 2024 juga menurun dibandingkan 2023. Tahun lalu, lifting migas ditargetkan 660 MBOPD dengan realisasi 605, 5 MBOPD atau 92% dari APBN. Sementara lifting gas 6.160 MMSCFD dengan realisasi 5.378 MMSCFD atau 87% dari target APBN.
Tidak hanya lifting migas, dalam KEM PPKF Sri Mulyani memperkirakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) akan berkisar pada harga US$ 75-85 per barel di tahun 2025
Menurut paparannya ketika menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, harga minyak merupakan salah satu faktor yang berdampak signifikan pada perekonomian dan kebijakan ekonomi makro.
“Pada saat harga tinggi, memacu pertumbuhan melalui permintaan eksternal (ekspor) maupun permintaan domestik. Sementara ketika harga jatuh, pertumbuhan ekonomi dan posisi fiskal mengalami tekanan,” ujarnya.
Sri Mulyani menyampaikan, bahwa harga minyak acuan dunia, yakni Brent pernah naik ke level US$ 115 per barel pada Juni 2014, dan turun tajam ke titik terendah US$ 28 per barel di Januari 2016.
Tidak hanya sekali, harga minyak kembali terpuruk saat pandemi Covid-19. Pada April 2020 lalu, harga minyak jatuh lagi ke level terendah US$ 23 per barel. Namun akibat perang di Ukraina, harga kembali melonjak tinggi ke level US$ 120 per barel pada Juni 2022.
“Di tahun 2023, harga minyak turun tajam menjadi US$ 65 per barel, kemudian naik kembali menjadi US$ 90 per barel di awal 2024 akibat perang di Gaza, Palestina. Keadaan ini juga terjadi untuk komoditas lainnya seperti batu bara dan minyak sawit yang mengalami tren fluktuatif," kata dia.