Cukai Rokok Naik Tinggi, Pengusaha Tuding Pemerintah Tak Peduli Petani
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyesalkan keputusan Pemerintah menaikan cukai rokok 23% dan harga jual eceran (HJE) 35%. Pengusaha menilai kenaikan cukai bisa semakin memberatkan industri hasil tembakau (IHT) di tengah lesunya pasar dan peredaran rokok ilegal. Nasib petani tembakau dan tenaga kerja pun diperkirakan bakal terancam.
Ketua umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan mengatakan keputusan kenaikan cukai tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri sebelumnya.
"Selama ini, informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai dikisaran 10%, angka yang moderat bagi kami meski berat," kata Henry melalui keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (14/09).
(Baca: Kenaikan Tinggi Cukai Rokok Diramal Berefek Negatif di Bursa Saham)
Dia menjelaskan, jika cukai rokok naik 23% dan harga jual eceran naik 35% pada 2020, maka industri harus menyetor cukai sekitar Rp 185 triliun dari target cukai yang ditetapkan tahun ini Rp 157 triliun. Angka tersebut belum termasuk pajak rokok 10% dan pajak pertambahan nilai (Ppn) 9,1% dari harga jual eceran.
"Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan HJE yang sebesar ini," ujarnya.
Henry menyatakan, masalah lain yang dihadapi industri adalah peredaran rokok ilegal. Menurutnya, dengan kenaikan cukai naik 10% sudah membuat peredaran rokok ilegal marak. Apalagi dengan kenaikan cukai 23% dan kenaikan kenaikan harga jual 35%, sehingga bisa dipastikan peningkatan peredaran rokok ilegal bisa lebih besar.
Pelaku IHT juga menghadapi situasi pasar yang lesu. Kenaikan cukai dan jual rokok, juga bisa berakibat menurunnya produksi industri hasil tembakau serta penyerapan tembakau dan cengkeh. "Dampaknya bisa kepada tenaga kerja," ujarnya.
Belum lagi rencana simplifikasi atau penggabungan layer yang akan dilakukan pemerintah. Simplifikasi cukai ini dinilai bisa menjadi ancaman bagi industri
Selain itu, maraknya peredaran rokok elektrik juga dinsancaman bagi industri hasil tembakau. Terlebih lagi, perkembangan industri rokok elektrik mendapat perlakuan peraturan yang berbeda dengan rokok konvensional.
"Pemerintah tidak peduli pada industri hasil tembakau, tidak memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh. Kami tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan kami hadapi ke depan," ujar Henry.
Sebelumnya, Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan kenaikan tarif cukai rokok dan harga jual eceran sudah diputuskan dalam rapat antara Presiden dan sejumlah menteri di Istana Negara kemarin, Jumat (13/9).
(Baca: Tarif Cukai Rokok Bakal Naik 23%, Harga Eceran Lebih Mahal 35%)
Keputusan tersebut mempertimbangkan aspek kesehatan, industri, tenaga kerja, pertanian, dan penerimana negara. "Dalam rapat tersebut telah diputuskan bahwa tarif cukai akan naik rata-rata 23% dan harga jual eceran rokok naik rata-rata 35%," ujar Nufransa, kemarin.
Dari aspek kesehatan, menurut dia, kenaikan tarif cukai rokok tersebut dilakukan guna mencegah peningkatan prevalansi atau jumlah individu yang terinfeksi akibat rokok, terutama pada wanita dan anak-anak.
Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan sejumlah aspek lainnya. Penetapan kenaikan tarif cukai rokok, menurut dia, akan segera dituangkan dalam peraturan menteri keuangan. "Ini akan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2020," jelas dia.
Dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2020, pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai atas tembakau mencapai Rp 171,9 triliun. Jumlah tersebut naik dari proyeksi tahun ini yang mencapai Rp 158,9 trilun.
Hingga semester pertama tahun ini, pendapatan bea dan cukai mencapai Rp 87,6 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 65,4 triliun di antaranya diperoleh dari cukai atas tembakau.