Pengusaha Keluhkan Bisnis Manufaktur Melambat Akibat Permintaan Lemah
Wakil Ketua Apindo Shinta Widjaja Kamdani menilai perlambatan pertumbuhan industri manufaktur saat ini disebabkan oleh permintaan yang melemah. Hal ini seiring dengan adanya perlambatan ekonomi negara mitra utama Indonesia, yaitu Tiongkok.
"Perang dagang memicu perlambatan ekonomi di Tiongkok. Karena itu demand dari Tiongkok berkurang cukup signifikan," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (2/8).
Hal ini juga berdampak pada pelebaran defisit neraca dagang antara Tiongkok dan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca dagang dengan Tiongkok pada semester I-2019 mencapai US$ 9,2 miliar. Defisit tersebut melebar 12,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, faktor eksternal lainnya juga turut mempengaruhi perlambatan manufaktur. Kebijakan ekonomi AS, Uni Eropa, dan Inggris dinilai tidak baik bagi iklim investasi di negara berkembang. Terlebih, Amerika Serikat (AS) mengkaji Generalized System of Preferences (GSP) terhadap Indonesia.
(Baca: BPS: Pertumbuhan Industri Manufaktur Pada Triwulan II-2019 Melambat)
Lalu, di Uni Eropa ada kebijakan biodiesel kelapa sawit sehingga dapat menekan ekspor sebesar 30% ke Benua Biru tersebut. "Keduanya menyebabkan mood yang tidak positif bagi permintaan atas produk ekspor Indonesia," ujarnya.
Di sisi internal, Shinta menilai tidak ada terobosan kinerja oleh pelaku usaha. Sebab, pengusaha memilih wait and see lantaran masih menjaga stabilitas nasional setelah Pemilu. Akibatnya, tidak banyak yang memicu produktifitas sektor industri.
Sementara, pemerintah juga dinilai tidak berani mengeluarkan kebijakan yang signifikan. Dampaknya, program reformasi ekonomi seolah-olah terhenti. Pengusaha tidak mendapat stimulus kegiatan usaha.
Terakhir, Shinta menilai ada pelemahan daya beli masyarakat pada Ramadan dan Lebaran. "Ini karena harga barang dan jasa meningkat drastis akibat produsennya tidak efisien," katanya.
(Baca: Uni Eropa Diskriminatif, Pemerintah Cari Pasar Ekspor Sawit ke Afrika)
Sebelumnya, BPS mencatat, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan II-2019 turun sebesar 1,91% dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun, jika dibandingkan dengan triwulan II-2018, terjadi kenaikan sebesar 3,62%.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, industri yang mengalami penurunan terbesar, yaitu 17,44%, terjadi pada industri barang logam, bukan mesin, dan peralatannya. "Kenaikan produksi tertinggi pada industri jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan yaitu 9,55%," ucap dia.
Industri barang galian bukan logam juga melemah. Penurunannya mencapai 13,46%. Industri furnitur pertumbuhannya turun 12,40%, industri mesin dan perlengkapan 12,05%, serta industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional 10,39%.
Sementara untuk jenis industri manufaktur yang mengalami kenaikan tertinggi lainnya, yaitu industri kertas dan barang dari kertas 2,45%, industri makanan 2,04%, industri pakaian jadi 1,85%, dan industri pencetakan dan reproduksi media rekaman 1,63%.