Deindustrialisasi Berpotensi Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Perlambatan industri dan ketergantungan terhadap komoditas berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Karenanya, untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, pemerintah perlu mendiversifikasi dan meningkatkan sektor industri manufaktur dalam negeri.
Hal tersebut diketahui dari publikasi bersama yang dirilis Asian Development Bank (ADB) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang berjudul Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur Indonesia 2020–2024.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sejak krisis finansial 1998. "Setelah tahun 2000, ketika kita mencoba pulih, kita tidak bisa mengangkat industrialisasi," kata dia di Jakarta, Jumat (8/2).
(Baca: Impor Baja Tiongkok Masih Akan Menggerus Neraca Perdagangan)
Bambang mengatakan, rata-rata pertumbuhan ekonomi pada tahun 2000 hingga 2017 hanya sekitar 5,3%. Pada periode tersebut, pertumbuhan industri manufaktur juga selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi.
Karenanya, dia pun menyebut Indonesia telah menunjukan gejala deindustrialisasi. Fenomena itu terlihat dari porsi industri manufaktur dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang merosot.
Padahal, industri manufaktur pernah mencatat titik tertinggi sepanjang sejarah yakni pada 2002. Kala itu kontribusi manufaktur terhadap PDB mencapai hingga 31,95%. Namun, porsi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun. Terakhir, kontribusi manufaktur terhadap PDB hanya mencapai 19,86% pada 2018. "Ini yang terendah sejak krisis finansial," ujar Bambang.
Indonesia terus bergantung pada komoditas nonmanufaktur sejak tahun 1970. Sebagai gambaran, eksor batu bara, minyak nabati, serta gas alam merupakan tiga jenis komoditas ekspor terbesar pada2018. Sebaliknya, sektor manufaktur Indonesia saat ini kurang terdiversifikasi, sehingga hanya sedikit jenis produk manufaktur yang bisa diekspor, seperti tekstil dan petroleum.
(Baca: Manufaktur Sebagai Sektor Ekonomi Utama Tumbuh Stagnan Tiga Tahun Ini)
Dengan begitu, dampak terbesar dari ketergantungan komoditas ini yakni Indonesia mengalami tantangan produktivitas yang rendah akibat rendahnya ekspor bernilai tambah. Bahkan, level produktivitas Indonesia juga disebut lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya.
Oleh karena itu, industrialisasi dan peningkatan sumber daya manusia harus menjadi fokus utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. "Itu langkah yang harus kita lakukan bersama untuk membangun perekonomian berkelanjutan," kata Bambang.
Indonesia juga harus lebih selektif dalam pengembangan industri yang potensial untuk ikut serta dalam rantai nilai global (GVC). Contoh industri yang berpotensi dalam rantai nilai global adalah otomotif dan elektronik.
Dengan keikutsertaan Indonesia dalam rantai nilai global, maka itu tersebut diprediksi bisa meningkatkan surplus perdagangan. Sehingga, defisit neraca pembayaran bisa semakin mengecil.
Sementara jika terus terjebak pada ekspor produk berbasis komoditas, rentan terpengaruh fluktuasi harga pasar internasional yang bisa berakibat pada menurunnya devisa negara jika harga komoditas dunia anjlok. "Saya kira industri manufaktur dalam ekonomi bisa menggerakkan sektor lain," ujar Bambang lagi.
Karenanya, jika industri manufaktur mampu digerakkan, ekonomi Indonesia diprediksi mampu terus bergerak ke kisaran 5,7% pada periode lima tahun ke depan. Sebaliknya, jika Indonesia tidak melakukan apa-apa, yang terjadi justru perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah 5% pada periode yang sama.
Direktur Jenderal Departemen Asia Tenggara ADB Ramesh Subramaniam menyoroti pentingnya kompleksitas produk industri dalam rantai nilai global. Dia menjelaskan keunikan produk Indonesia bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengungkapkan untuk menggerakkan industrialisasi sektor unggula, dibutuhkan sebuah kebijakan yang komprehensif. Contohnya, orientasi ekspor produk tanpa memperhatikan ketersediaan bahan baku dinilai justru bisa menimbulkan masalah baru.
Karena itu pemerintah juga dinilai harus mampu membuat kebijakan yang berfokus pada sektor hulu, agar industri lebih banyak berinvestasi.
"Jangan dapat insentif ekspor, tapi impor bahan bakunya justru tinggi karena di dalam negeri tidak tersedia," katanya.
(Baca: Optimisme Pengusaha Kuartal I 2019 Terendah Sejak Pertengahan 2017)
Pernyataan itu dibenarkan oleh Ketua Divisi Industri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Wijaya. Menurutnya, industri pengolahan dalam negeri sangat terbatas. Padahal, industri butuh kepastian untuk melakukan proses bisnis, terutama dalam hilirisasi.
Pemerintah juga harus memperhatikan industri tengah yang juga hingga saat ini masih memiliki persoalan. "Jangan terus berbicara kita ketergantungan terhadap produk sektor hulu, tetapi juga kita kekurangan industri menengah," ujarnya.
Karenanya, pemerintah seharusnya menyelesaikan permasalahan yang mendasar untuk kebijakan yang lebih tepat, sebelum mengklaim telah memiliki kesiapan dalam penerapan industri 4.0.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro juga menyoroti hal yang sama. Pemerintah harus bisa memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan spesialisasi terhadap suatu sektor untuk ikut rantai nilai global.
Menurutnya, spesialisasi sektor juga akan ikut mengembangkan variasi keunikan Indonesia yang pasar dunia butuhkan. Contohnya, Indonesia dulu hanya menjadi perakit kendaraan, tetapi sekarang bisa menjadi produsen komponen kendaraan.
Selain itu, Indonesia bisa memanfaatkan bermacam komoditas seperti alumunium dan baja untuk jadi industri pembuat komponen yang industri global butuhkan. "Kita harus terus perdalam spesialiasi sebelum melangkah lebih jauh," kata Ari.