Perlambat Laju Impor, Industri Baja Domestik Diminta Genjot Produksi
Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu penyebab defisit neraca perdagangan Indonesia selama 2018. Besi dan baja serta benda-benda dari besi dan baja menempati nilai impor terbanyak masing-masing urutan ketiga dan ketujuh dari keseluruhan komoditas impor nonmigas.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan perang dagang menyebabkan impor besi dan baja Tiongkok meningkat pesat ke Indonesia dengan kenaikan sebesar 59,7% pada 2018 sekaligus mencatat rekor impor tertinggi di dunia. "Hasil besi dan baja industri produktif Tiongkok paling banyak dialihkan ke Indonesia," kata Enggar di Cikarang, Jawa Barat, Kamis (31/1).
Selain perang dagang, Tiongkok juga terus memperbesar pemasaran dengan pembebasan bea keluar untuk besi dan baja. Tingginya impor besi dan baja Tiongkok membuat industri hulu dan menengah khawatir karena produk dalam negeri kalah bersaing.
Di satu sisi, pembatasan impor bisa mengancam pertumbuhan dan produksi industri hilir yang menggunakan besi dan baja sebagai bahan baku. Meski demikian, Kementerian Perdagangan juga mencari celah untuk sedikit mengerem laju impor supaya keputusan tersebut tidak menjadi sengketa di World Trade Organization (WTO).
(Baca: Terdorong Permintaan, Ekspor Baja Nirkarat Naik Tiga Kali Lipat)
Guna mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi industri dan perdagangan sektor besi dan baja, pemerintah pun mengadakan pertemuan pelaku usaha dari industri besi baja hulu sampai hilir. Tercatat ada sekitar 6 perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan atau hulu, ratusan importir, serta beberapa pengusaha di sektor hilir hadir mencari jalan keluar dan menguntungkan semua pihak.
"Tanggung jawab kepada bangsa dari kacamata ekonomi, pasar dalam negeri harus kita lindungi di hulu tetapi tidak boleh mematikan industri hilir karena menyangkut tenaga kerja," ujarnya.
Enggar mengatakan, salah satu komoditas besi baja yang ditahan izinnya adalah impor boron karena produk dalam negeri sudah mencukupi untuk industri hilir. Komoditas besi dan baja lain juga juga mulai diperketat izinnya, kecuali untuk kebutuhan yang telah terverifikasi.
Kebijakan lain untuk menahan impor juga dengan memindahkan area pemeriksaan dekat Pusat Logistik Berikat (PLB) di daerah Marunda, dekat jalur laut. Setelah besi dan baja masuk ke Indonesia, pemerintah segera memverifikasi ulang untuk keluar dari PLB.
Namun selain upaya pengendalian, Enggar juga menekankan, produsen besi dan baja di sektor hulu selain harus bisa memenuhi kebutuhan industri hilir, harganya pun harus bersaing. Begitu pun sebaliknya. "Untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, tetapi kalau harganya masih tinggi dan sistem pengiriman tidak berkelanjutan, saya tidak bisa hentikan impor," katanya.
Meski terjadi beberapa kesepakatan, pemerintah dan pelaku usaha masih menghitung kapasitas produksi nasional untuk kebutuhan domestik, serta kepastian kualitas dalam negeri. Namun, selama kapasitas dan kualitas industri besi baja belum sesuai dengan permintaan pasar, Kementerian Perdagangan tidak akan menyetop impor bahan baku besi dan baja, terutama untuk kebutuhan sektor unggulan, yakni otomotif, elektronik, dan perkapalan.
(Baca: Biayai Ekspansi, Gunung Raja Paksi Incar Dana IPO Rp 1 Triliun )
Enggar berharap, pelaku usaha dalam negeri bisa memanfaatkan peluang permintaan pasar dalam negeri yang besar untuk segera menggenjot ekspansi dan meningkatkan utilisasi kapasitas produksi. Denan demikian dia pun optimistis impor besi dan baja bisa turun signifikan.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Aloisius Maseimilian menyatakan kesiapannya untuk memenuhi kebutuhan nasional serta peningkatan ekspor, melalui peningkatan produksi dan produktivitas dengan regenerasi mesin.
Aloisius menjelaskan, saat ini total produksi pabrik baja perusahaan masih sekitar 1,5 juta ton dari kapasitas terpasang mencapai 2,8 juta ton. Sehingga, utilisasi produksi baru sebesar 53%. Adapun sebagian besar hasil produksi perseroan saat ini masih terserap untuk pasar dalam negeri. Sementara untuk ekspor, kontribusinya baru mencapai 56.500 ton.
Untuk meningkatkan daya saing industri, dia pun menginginkan dukungan pemerintah dalam hal kebijakan. "Kami meminta dukungan pemerintah supaya memberikan kesempatan produsen lokal untuk bersaing dengan barang impor," ujar Aloisius.
Sebab, dari total kebutuhan baja nasional saat ini yang mencapai mencapai 15 juta ton per tahun, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi separuh dari total pasar. Adapun 50% sisanya, berasal dari impor.
Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebutkan impor baja paduan perlu menjadi perhatian karena bea masuk yang kecil sebesar 5%. Padahal, baja paduan seharusnya dikenakan bea masuk lebih tinggi, setidaknya 15%.
(Baca: Aturan Pengembalian Pemeriksaan Impor Baja Berlaku 20 Januari 2019)
Bhima menjelaskan, baja paduan Tiongkok dijual terkena dumping karena eksportir Tiongkok mendapatkan tax rebate dari pemerintahnya. Selain itu, banyak pula negara Asia Tenggara mengeluhkan masalah ini sehingga banyak negara melakukan penyelidikan untuk membuktikan tuduhan antidumping.
Di samping itu, pemerintah juga dinilai perlu melakukan analisis komprehensif terhadap besi baja untuk keperluan proyek infrastruktur dengan menaikkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tanpa mempersulit izin impor. "Intinya bisa dimulai dari proyek yang dikendalikan pemerintah, karena relatif mudah pengawasannya," kata Bhima.
Namun, untuk impor jenis besi dan baja yang menjadi bahan baku Industri, dia menyarankan pemerintah agar lebih selektif mengatur izin impor. Sebab, baja untuk otomotif, alat berat, elektronik, dan perkapalan punya spesifikasi khusus yang belum bisa terpenuhi dari produk baja domestik.
Jika produk dari sektor unggulan terhalang impor bahan bakunya, salah satu ancamannya adalah penurunan ekspor. Bhima menekankan, pemerintah harus memperhatikan kebutuhan industri domestik dengan mengedepankan spesifikasi besi dan baja secara detail.