Buat Terowongan, Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak Rp 10 Triliun
Pemerintah menghadapi sejumlah masalah untuk memulai proses pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Yang terbaru adalah masalah lahan sehingga membuat biaya pembangunan proyek tersebut membengkak lebih Rp 10 triliun.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengakui adanya beberapa permasalahan terkait lahan yang menyebabkan dana proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak. Pertama, perubahan skema pembangunan di beberapa titik proyek tersebut sehingga perlu membuat terowongan (tunnel).
Terowongan ini pun nantinya terbagi dua, yakni terowongan yang dibangun dengan terbuka (open pit tunnel) dan terowongan yang dibangun dengan mengebor perut bumi (boring tunnel) seperti proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. (Baca: Perlu Kajian Lagi, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Terhambat)
Kedua, jalur kereta cepat dibuat melayang (elevated). Rini mengatakan, sebagian ruas jalur kereta cepat ini tadinya tidak melayang. Namun, sekarang semua ruas jalurnya dibuat melayang untuk menyesuaikan dengan kontur tanah.
Kondisi inilah yang menyebabkan, biaya pembangunan proyek tersebut membengkak menjadi US$ 5,99 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. "Karena ada penambahan dari lahan itu sehingga yang tadinya (biaya pembangunan) US$ 5,13 milar menjadi US$ 5,99 miliar. Jadi ada kenaikan hampir US$ 800 juta (setara dengan Rp 10,6 triliun)," kata Rini di Jakarta, Kamis (14/3).
Meski begitu, Rini mengklaim, penghitungan ulang (financial review) biaya pembangunan proyek tersebut sudah rampung. Penghitungan ulang ini melibatkan Kantor Akuntan Publik KPMG Indonesia dan KPMG Tiongkok. Prosesnya juga melibatkan pihak Tiongkok sebagai mitra kerja sama dan penyandang dana proyek tersebut.
(Baca: Menteri PUPR: Kereta Cepat Belum Dapat Sertifikasi Keamanan Jembatan)
Hasil penghitungan ulang tersebut menunjukkan proyek kereta cepat ini masih sangat layak dari sisi investasi untuk dilanjutkan. "Ini sudah dibicarakan dan didiskusikan dengan China Development Bank (CDB), tidak ada masalah kenaikan biaya, dan sudah dihitung Internal Rate of Return (IRR) masih bagus," ujar Rini.
Di sisi lain, menurut dia, Peraturan Pemerintah (PP) terkait Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Nasional sudah ditandatangani Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini mrupakan syarat yang ditetapkan CDB untuk mengucurkan pinjamannya. Karena itu, pada akhir bulan ini diharapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Bandung sudah bisa menyesuaikan RTRW untuk proyek kereta cepat.
Namun, lantaran masih menunggu proses tersebut dan menyelesaikan beberapa hal dengan pihak CDB yang sedang berada di Indonesia, maka proses pencairan pinjamannya kemungkinan bergeser ke bulan Mei nanti. Selanjutnya, proses konstruksi secara total sudah bisa dilakukan pada bulan itu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan proyek kereta cepat Jakata-Bandung harus berkaca dari kasus Jembatan Cisomang di ruas tol Cipularang, yang rusak akibat pergeseran tanah. Makanya, teknologi dan konstruksi proyek ini harus mendapat sertifikasi terlebih dahulu sebelum memulai proyek pembangunannya.
(Baca: RTRW Proyek Kereta Cepat Rampung, Utang Cina Cair Akhir Bulan Ini)
Luhut khawatir apabila tidak ada sertifikasi teknologi maka akan terjadi pembengkakan biaya kalau ada pergeseran tanah di rute kereta cepat. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang meminta sertifikasi teknologi tersebut kepada pihak Tiongkok yang menggarap proyek ini.
"Tadi Menteri PUPR sampaikan (dalam rapat), pergerakan tanah itu perlu teknologi yang baik dari Tiongkok," kata Luhut di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (11/4).
Sementara itu, PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) juga telah menandatangani kontrak rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (engineering, procurement, and construction/EPC) proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Kontrak senilai US$ 4,7 miliar ini diteken bersama tujuh kontraktor yang tergabung dalam High Speed Railway Construction Consortium (HSRCC).