Pemerintah, BI, OJK Dorong Dana Infrastruktur dari Pasar Keuangan

Desy Setyowati
8 April 2016, 18:06
Proyek MRT
Arief Kamaludin|KATADATA

Pemerintah memandang pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya mengandalkan pendanaan dari pemerintah. Sumber pembiayaan lain yang diharapkan dari perbankan dan pasar modal. Masalahnya, dana dari dua sumber tersebut masih minim. Hal itu terlihat dari masih kecilnya simpanan di perbankan dan minimnya dana investor di pasar modal.

Saat ini, rasio dana pihak ketiga (DPK) di perbankan dalam negeri baru 40,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasionya lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Rasio DPK terhadap PDB di masing-masing negara itu sebesar 137 persen, 94 persen, dan 55 persen.

Di sisi lain, nilai transaksi di pasar modal masih minim, yaitu 45,2 persen dari PDB. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia, yang masing-masing sebesar 104 persen dan 156 persen.

Sedangkan di pasar valuta asing (valas), volume transaksinya masih berkisar US$ 4-5 miliar per hari. Nilai ini pun lebih kecil dibandingkan negara tetangga, yakni Thailand US$ 11 miliar per hari dan Malaysia US$ 13 miliar per hari. Rasio pasar obligasi Indonesia juga hanya 2 persen dari PDB. Padahal di Malaysia dan Thailand sudah mencapai 57 persen dan 23 persen.

Menurut Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, pendalaman pasar keuangan tidak bisa hanya dilakukan oleh satu lembaga. “Itu saling terkait satu sama lain, yakni pasar valas, pasar saham, dan obligasi,” katanya seusai penandatanganan nota kesepahaman koordinasi pengembangan dan pendalaman pasar keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (8/4).

(Baca: Kadin Minta Swasta Dilibatkan Garap Proyek Infrastruktur Strategis)

Persoalannya, pasar keuangan dan pasar modal berada di bawah yurisdiksi otoritas yang berbeda-beda. Karena itu, butuh koordinasi di antara masing-masing otoritas, yaitu BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama pemerintah. Atas dasar itulah pemerintah bersama kedua otoritas keuangan tersebut membentuk Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan (FK-PPPK). Lewat forum koordinasi itu, upaya pemerintah bersama BI dan OJK untuk memperdalam pasar uang dan pasar modal dapat lebih efektif.

Dari sisi BI, dapat mengembangkan kegiatan derivatif dan transaksi repo. Baik dengan mengandalkan surat berharga BI, Surat Utang Negara (SUN), ataupun transaksi di bawah otoritas lainnya seperti OJK. BI juga bekerja sama dengan OJK untuk menggunakan instrumen perbankan, seperti promissory note yang berjangka waktu tiga, enam, dan sembilan bulan, juga setahun.

(Baca: Tekan Defisit Anggaran, BUMN Gandeng Swasta Bangun Infrastruktur)

Sedangkan OJK, menurut  Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, bisa mendorong pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) yang lebih banyak di bursa saham. Selain itu, meningkatkan penerbitan surat utang (obligasi), termasuk penerbitan reksadana pendapatan tetap (RDPT) untuk proyek-proyek infrastruktur.

Adapun dari sisi fiskal, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, bisa menyesuaikan tarif pajak dengan instrumen keuangan. Yang sudah dilakukan yakni kebijakan Dana Investasi Real Estate Indonesia (DIREI). Selain itu, memperlonggar tarif pajak untuk Dana Hasil Ekspor (DHE) yang ditempatkan dalam waktu tertentu di dalam negeri.

Sekadar informasi, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 disebutkan, total kebutuhan pembiayaan infrastruktur sebesar Rp 5.519 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah harus menyediakan 40 persen, yakni Rp 2.215 triliun atau Rp 440 triliun per tahun. Artinya, 60 persen dari kebutuhan pembiayaan infrastruktur itu bersumber dari non-APBN, seperti perbankan dan pasar modal.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...