Menghitung Beban Tambahan Ongkos Pengganti Kantong Plastik
Pandemi Covid-19 berimbas ke seluruh sektor usaha di Tanah Air, tak terkecuali Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Roda ekonomi melambat. Khusus pelaku UMKM di Jakarta, beban mereka bertambah dengan penerapan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Pasalnya, kantong alternatif belum seekonomis plastik.
Penggunaan plastik oleh para pelaku UMKM di DKI Jakarta pun masih dominan. Hal itu terungkap dari survei yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) terhadap 1.162 pegiat UMKM makanan dan minuman di DKI Jakarta. 95,5 persen responden mengaku mereka menggunakan kantong plastik dalam menjalankan usahanya.
Pergub larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai seperti kantong kresek mulai berlaku pada 1 Juli 2020. Peraturan itu diharapkan dapat menekan produksi sampah plastik di ibu kota sampai 50 persen. "Kan kita mengubah kebiasaan, mengembalikan kebiasaan lama belanja pakai kantong belanja saja sekarang," ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan DKI Jakarta Andono Warih kepada CNN.com.
Selain mendorong konsumen untuk membawa sendiri kantong belanjanya, Pergub 142/2019 juga mewajibkan pedagang atau pemilik usaha untuk menyediakan kantong belanja ramah lingkungan. Adapun kantong belanja ramah lingkungan dideskripsikan sebagai produk substitusi kantong plastik yang terbuat dari bahan daur ulang dan dapat digunakan berulang (reusable).
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan Katadata, 85 persen dari responden menjadikan harga sebagai pertimbangan utama dalam memilih kantong belanja ramah lingkungan untuk menggantikan kantong belanja plastik. Lantas berapa ongkos pengganti kantong plastik itu? Berdasarkan perhitungan Katadata Insight Center, produk substitusi yang beredar di pasaran saat ini masih jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan kantong plastik kresek.
Ambil contoh kantong kertas yang harga satuannya Rp 1.000. Ini berarti 10 kali lipat lebih mahal daripada kantong plastik yang selembarnya sekitar Rp 100. Dari hasil survei, didapat dalam satu bulan rata-rata 1800 lembar kantong digunakan oleh UMKM. Jika dikalikan maka akan memunculkan angka Rp 1,8 juta untuk belanja kantong kertas selama sebulan. Bandingkan dengan biaya belanja kantong plastik per bulan yang hanya Rp 180 ribu.
Alternatif lain, kardus dan tas berbahan spunbond ternyata jauh lebih mahal. Untuk kardus harganya lebih mahal 14 kali lipat (Rp 1.400/unit) dan tas berbahan spunbond 22 kali lipat (Rp 2.200/unit). Biaya belanja untuk tiap kantong per bulan pun meningkat ke angka sekitar Rp 2,5 juta (kardus) dan Rp 3,9 juta (tas spunbond). Angka tersebut jauh lebih mahal dibanding kantong plastik kresek.
Opsi paling ekonomis sejauh ini adalah kantong biodegradable yang terbuat dari paduan ekstrak singkong. Harga satuannya sekitar Rp 600 atau enam kali lebih mahal dibanding kantong plastik dan masih berpotensi memberatkan keuangan pegiat UMKM.
Masih berdasarkan survei Katadata, 97 persen responden pun sebenarnya sadar betul kalau produk pengganti kantong plastik akan lebih mahal. Namun hanya 21,9 persen yang dapat memprediksi kalau harga kantong substitusi akan membuat biaya belanja mereka meningkat di atas 30 persen. Sementara sisanya, 78,2 persen responden, beranggapan kalau biaya tambahan yang perlu mereka bayarkan masih di bawah 30 persen.
Selain harga, faktor ketersediaan dalam penggunaan juga menjadi faktor berikutnya yang menjadi pertimbangan utama UMKM dalam menggunakan kantong belanja plastik. Dalam masa pandemi ini, faktor kepercayaan pelanggan menjadi poin yang sangat penting dalam keberlangsungan bisnis UMKM. Untuk meyakinkan pelanggan atas keamanan dan kebersihan produknya, pembungkus plastik menjadi pilihan utama bagi pelaku UMKM. Dengan menggunakan plastik, kontak langsung antara pembeli dan penjual dapat ditekan untuk menghindari penyebaran virus. Hal ini menjadikan penggunaan plastik dalam masa pandemi ini meningkat relatif cukup tinggi.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir, penerapan pergub ini menyebabkan keresahan bagi pelaku UMKM, khususnya karena hal ini berimbas pada pemasukan dan operasional bisnis UMKM. Survei Katadata Insight Center mengungkapkan 91,7 persen responden mengalami penurunan omzet akibat penyebaran virus Corona. Bahkan 56,7 persen mengaku mengalami penurunan pemasukan sampai lebih dari 30 persen. Di sisi lain, hampir setengah dari responden survey Katadata merasakan kantong belanja ramah lingkungan masih sulit dicari.
Harapan UMKM
Dengan kondisi yang terjadi saat ini, hampir 50 persen responden berharap Pergub larangan plastik diberlakukan setidaknya sampai kondisi ekonomi pulih. “Harus bertahap dan melihat perkembangan ekonomi yang ada saat ini,” ujar salah seorang responden. Selain keadaan ekonomi pelaku UMKM, faktor-faktor yang mendukung kemudahan pelaku UMKM dalam mematuhi peraturan ini pun belum tersedia. Implementasi peraturan ini dalam masa pandemi ini menjadi tantangan tersendiri. Pelaku UMKM membutuhkan waktu untuk dapat menyesuaikan bisnisnya ke peraturan tersebut. Terlebih lagi keadaan pelaku UMKM yang masih dalam proses pemulihan bisnisnya akibat masa pandemi.
Pelaku UMKM juga menekankan pentingnya sosialisasi. Bukan hanya kepada mereka, tapi juga kepada konsumen. Imbauan untuk membawa sendiri kantong belanja perlu digalakkan lagi kalau memang penurunan produksi sampah plastik dan peningkatan kepedulian lingkungan yang ingin disasar. Apalagi, harga produk substitusi kantong plastik tidaklah murah. Para pelaku UMKM berharap ada jaminan ketersediaan dan subsidi oleh Pemprov DKI Jakarta.
Harga produk diakui mayoritas pegiat UMKM sebagai faktor utama dalam menentukan kantong pengganti plastik. Meski demikian, para pelaku UMKM tidak keberatan menjalankan penerapan pergub. Namun, dengan sejumlah syarat antara lain harga spesial bagi UMKM.
“Ada harga khusus bagi para UMKM, sehingga bisa menjalankan Pergub tersebut dengan maksimal,” kata responden. Lainnya mengatakan, alangkah bijaksananya, jika pemerintah provinsi menanggapi niat baik para pedagang ini dengan menyiapkan juga produk pengganti kantong plastik yang tidak hanya ramah lingkungan tapi juga ramah kantong pelaku UMKM. Dengan kondisi pelaku UMKM yang belum siap menerapkan peraturan ini, penundaan waktu implementasi atau pemberlakuan bertahap peraturan menjadi salah satu solusi untuk setiap pihak untuk mempersiapkan diri dan melakukan penyesuaian.