Produksi Batu Bara Adaro Merosot karena Perlambatan Ekonomi Global
Perusahaan produsen batu bara PT Adaro Energy Tbk melaporkan penurunan produksi pada semester I 2020. Pelemahan ekonomi global menyebabkan permintaan “emas hitam” ini ikut merosot.
Corporate Secretary Adaro Energy Mahardika Putranto mengatakan, produksi batu bara Adaro Energy pada semester I 2020 turun 4% secara tahunan menjadi 27,29 juta ton. Sedangkan volume penjualan batu bara pada periode ini juga turun 6% menjadi sebesar 27,13 juta ton pada periode yang sama.
“Nisbah kupas Adaro Energy pada semester I tercatat 3,77x karena musim hujan yang panjang di wilayah operasi berdampak terhadap aktivitas perusahaan,” kata Mahardika melalui keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, dikutip Minggu (16/8).
Pada kuartal II 2020, menurut Mahardika, pasar batu bara termal terdampak oleh pandemi COVID-19 secara lebih signifikan lantaran lesunya ekonomi negara-negara pengimpor batu bara. Alhasil, permintaan batu bara untuk pembangkit listrik juga ikut anjlok.
Menurunnya permintaan batu bara juga berdampak kepada merosotnya harga batu bara pada kuartal II. Misalnya harga global COAL Newcastle turun 19% secara keuartalan ke level rata-rata sebesar US$ 55,08 per ton.
Sementara itu, produksi batu bara Indonesia turun 5% year on year (yoy) pada periode Januari-Juni akibat rendahnya permintaan baik di pasar domestik maupun global, serta akibat turunnya harga. Secara bersamaan, volume pengiriman Australia menunjukkan tren yang menurun dari April sampai Juni.
Akibat permintaan batu bara yang melambat di pasar global, Marhadika mengatakan, perseroan memutuskan untuk memangkas target produksi batu bara dan Earnings before interest, taxes, depreciation and amortization (EBITDA) operasional pada 2020 menyusul pelemahan ekonomi global serta penurunan permintaan akibat pandemi Covid-19.
Emiten berkode saham ADRO ini memutuskan merevisi merevisi panduan tahun 2020 menjadi produksi 52 juta ton sampai 54 juta ton. Sedangkan EBITDA operasional pada 2020 berkisar US$ 600 juta sampai US$ 800 juta, belanja modal US$ 200 juta sampai US$ 250 juta.
Sebelumnya, perusahaan menargetkan produksi batu bara pada tahun ini sekitar 54 juta hingga 58 juta ton. Adapun realisasi produksi batu bara Adaro pada tahun lalu mencapai 58,03 juta ton. Sementara itu, EBITDA operasional ditargetkan sebesar US$ 900 juta - US$ 1,2 miliar pada awal tahun atau sebelum adanya pandemi corona.
“Adaro Energy terus berupaya mempertahankan keunggulan operasional, meningkatkan efisiensi, menjaga marjin yang sehat dan memberikan pasokan yang andal bagi para pelanggan,” ujarnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM sebelumnya optimistis target produksi batu bara tahun ini bisa tercapai. Meskipun, permintaan komoditas tersebut turun akibat pandemi corona.
Pemerintah menargetkan produksi batu bara pada tahun ini sebesar 550 juta ton. Hingga Mei 2020, realisasi produksi komoditas tersebut mencapai 228 juta ton.
"Target produksi bisa tercapai karena sampai Mei 2020 mampu memproduksi 42%," ujar Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu bara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM Sujatmiko dalam diskusi media secara virtual, pada pertengahan bulan lalu.
Padahal Sujatmiko menyampaikan penyerap batu bara pada tahun ini turun. Dari produksi 228 juta ton, penyerapan batu bara hanya mencapai 28%. Salah satu faktornya yaitu permintaan batu bara untuk pembangkit listrik yang tidak optimal karena pandemi corona.
"Pandemi menyebabkan banyak industri tidak jalan sebagaimana biasa, permintaan listrik turun sampai Mei 2020 sehingga pemakaian batu bara kebutuhan listrik turun," ujarnya.