Larangan Display Rokok Dinilai Tidak Beralasan, Memicu Ketidakpastian
Sejumlah pihak memprotes keras keputusan pemerintah DKI Jakarta yang melarang toko untuk memasang reklame dan menyediakan display rokok. Keputusan itu dianggap tidak beralasan dan hanya menambah ketidakpastian iklim berusaha di ibu kota. Larangan display rokok juga membuat komoditas tersebut diperlakukan seperti barang ilegal.
"Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi," kata Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Tutum Rahanta, dalam siaran pers, Rabu (22/9).
Seperti diketahui, pada Juni 2021, pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok. Di dalam seruan tersebut terdapat sejumlah aturan seperti:
1. Memasang tanda larangan merokok pada setiap pintu masuk dan lokasi yang mudah diketahui oleh setiap orang di daerah gedung dan memastikan tidak ada yang merokok di kawasan dilarang merokok
2. Tidak menyediakan asbak dan tempat pembuangan puntung rokok lainnya pada kawasan dilarang merokok
3. Tidak memasang reklame rokok atau zat aditif baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, termasuk memajang kemasan atau bungkus rokok di tempat penjualan.
Pemerintah DKI Jakarta mulai aktif melakukan penindakan dengan menurunkan reklame rokok dan meminta toko termasuk minimarket untuk menghilangkan display rokok, menyingkirkan rak berisi rokok, serta mencopot poster rokok.
Tutum menekankan larangan display rokok di toko akan semakin menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal, karena pandemi Covid-19 masih berlangsung.
Selain itu, Seruan Gubenur itu juga bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi yakni PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang menyatakan bahwa produk rokok yang sah dan secara legal mendapatkan kepastian untuk dijual jika sudah memenuhi ketentuan yang diatur seperti kemasan, kandungan produk, perpajakan, dan rentetan aturan lainnya.
“Kami juga tidak sembarangan menjual di mana saja, harus jauh dari tempat ibadah dan jangkauan anak-anak,” kata Tutum.
Pihaknya juga menyayangkan karena pemerintah DKI melakukan tindakan tanpa terlebih dahulu memberikan sosialisasi. Hal ini membuat banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini.
Dia berharap kebijakan ini dicabut, sebab keputusan ini juga bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar. Pasalnya, bukan tidak mungkin, produk lain juga bisa mengalami diskriminasi serupa di masa depan.
Rokok merupakan salah satu komoditas terpenting dalam perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk umur lima tahun ke atas yang merokok mencapai 23,21% pada 2020, atau sekitar 64 juta jika merujuk pada populasi Indonesia yang mencapai 275 juta.
Dengan jumlah konsumen sebanyak itu tidak heran jika kemudian rokok menjadi penyumbang ke empat inflasi Indonesia pada tahun lalu di bawah emas, cabai merah, dan minyak goreng.
Ketua Departemen Minimarket Asosiasi Peritel Indonesia (APRINDO) Gunawan Baskoro mengingatkan seruan gubernur ini akan semakin menekan kinerja ritel secara keseluruhan.
Seperti yang diketahui ritel di segmen toko swalayan, kelontong, hypermarket, dan department store sudah banyak yang berguguran sepanjang pandemi. Tidak kurang ada lebih dari 1.500 gerai yang sudah tutup permanen sepanjang dua tahun terakhir.
“Kami sudah tunaikan semua kewajiban, bukannya didukung malah makin ditekan,” katanya.
APRINDO mengatakan kondisi ritel nasional juga belum menunjukkan tren pemulihan. Selain itu, industri sektor ritel juga minim insentif.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) Joko Setiyanto mengatakan seruan ini juga akan berdampak pada sektor perdagangan eceran kecil seperti di pasar tradisional dan warung kelontong.
Salah satu pemilik kios sederhana di kawasan Palmerah, Jakarta Barat Ade Sutisna cukup khawatir akan razia reklame rokok. Sebab, kios yang dimilikinya merupakan sponsor dari sebuah merek rokok yang memberikannya sebuah bangunan sederhana untuk berjualan.
“Toko saya ada embel-embel merek tertentu. Itu bagaimana nanti? Kalau harus beli kios baru itu saya tidak sanggup karena mahal,” katanya.
Bagi usaha kecil warung sederhana sepertinya, Ade mengaku rokok adalah salah satu produk yang menjadi tulang punggung kiosnya. Reklame rokok merek tertentu juga dipasang sebagai sarana informasi ketersediaan produk. Tanpa reklame, dia mengatakan para pembeli tidak akan mengunjungi kiosnya karena menganggap warungnya tidak menjual produk yang diinginkan.