MK Sebut Struktur dan Skala Upah UU Cipta Kerja Tak Menjamin Buruh Hidup Layak
Mahkamah Konstitusi memutuskan struktur dan skala upah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Penyusunan upah dalam undang-undang itu hanya memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, tidak ada pertimbangan latar belakang pekerja.
"Berdasarkan hal tersebut, Pasal 92 dan Pasal 81 Angka 33 UU Nomor 6 Tahun 2023 tidak memberikan jaminan hak pekerja atas penghidupan layak," kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang keputusan judicial review (uji materiil) UU Cipta Kerja, Kamis (31/10).
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Di dalamnya tertulis, struktur dan skala upah suatu perusahaan harus mempertimbangkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi para pekerjanya. Namun, Guntur berpendapat, penetapan indikator latar belakang buruh di aturan yang lebih rendah berpotensi memunculkan diskriminasi dalam penghitungan upah.
Karena itu, ia mengatakan, pasal 92 UU Cipta Kerja dapat mengikat secara hukum apabila diubah menjadi pengusaha wajib menyusun struktur dan sakla upa di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan dan produktivitas perusahaan, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompentensi karyawan.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W Kamdani mendorong agar penentuan upah minimum dilakukan dengan pendekatan struktur dan skala upah. Ia mendorong seluruh pemangku kepentingan mengembangkan pengupahan berdasarkan kompetensi.
Apindo berpendapat, upah minimum provinsi atau UMP 2025 tak bisa seperti keinginan buruh yang menuntut kenaikan mencapai 8%. Sebab, kondisi perekonomian yang tengah sulit terlihat dari deflasi yang dialami Indonesia selama lima bulan terakhir.