Ekspor Cina Melesat Jelang Dimulainya Perang Tarif Trump


Ekspor Cina meningkat tajam pad Maret setelah pabrik-pabrik mempercepat pengiriman sebelum berlakunya tarif terbaru AS. Namun, perang dagang dengan AS yang memanas diperkirakan akan memukul prospek permintaan ekspor dan perekonomian Cina ke depan.
Presiden AS Donald Trump telah menaikkan tarif pada barang-barang Cina ke tingkat yang tinggi. Hal ini diperkirakan akan berdampak besar pada arus perdagangan global dan investasi bisnis.
Pemerintah Cina mencatat, ekspor naik 12,4% secara tahunan pada bulan lalu, tertinggi dalam lima bulan terakhir. Ekspor hanya tumbuh 2,3% pada Januari-Februari.
Ketidakpastian perdagangan telah mengguncang pasar keuangan pada bulan ini setelah Trump mengumumkan tarif besar-besaran pada banyak negara pada awal bulan. Namun, Trump secara tak terduga menunda bea masuk yang lebih tinggi pada belasan negara beberapa hari kemudian, tetapi mengenakan bea masuk yang lebih berat lagi pada Cina.
Para ekonom memperingatkan, angka ekspor bulan Maret akan berbalik seiring prospek yang memburuk dengan cepat.
"Pertumbuhan ekspor meningkat pada bulan Maret, karena produsen bergegas mengirimkan barang ke AS menjelang 'Hari Pembebasan'," kata Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi Tiongkok di Capital Economics, dalam sebuah catatan kepada klien.
Ia memperkirakan, engiriman akan turun kembali pada bulan-bulan dan kuartal mendatang.
Trump mengenakan tarif sebesar 10% pada semua impor Cina ke Amerika Serikat, berlaku pada tanggal 4 Februari, dan menindaklanjutinya dengan tarif sebesar 10% lagi pada Maret, menuduh Beijing tidak berbuat cukup banyak untuk membendung aliran fentanil ke Amerika Serikat.
Putaran tarif baru Washington menaikkan bea masuk terhadap Cina hingga 145%, dan mendorong Beijing menaikkan pungutan terhadap barang-barang AS hingga 125%.
Data ekspor impor Cina juga menyoroti melemahnya permintaan domestik di negara ekonimi terbesar dunia ini. Pengiriman masuk turun 4,3%, dibandingkan dengan perkiraan penurunan 2,0% dalam jajak pendapat Reuters, dan kontraksi tajam yang tak terduga sebesar 8,4% di awal tahun.
Surplus perdagangan Cina pada Maret mencapai US$ $102,64 miliar, turun sedikit dari US$104,8 miliar pada Desember. Sedangkan surplus perdagangan Cina dengan Amerika Serikat pada kuartal pertama mencapai US$76,6 miliar, naik dari US$70,2 miliar tahun sebelumnya.
Data-data terbari ini kemungkinan akan membuat Cina tetap menjadi sasaran Trump mengingat perbaikan kesenjangan perdagangan berada di prioritas utama agendanya.
Data komoditas menunjukkan meskipun impor minyak mentah Cina naik pada Maret, impor kedelai, batu bara, bijih besi, dan tembaga mentah turun. Total impor kedelai Cina anjlok 36,8% pada bulan Maret dibandingkan tahun sebelumnya.
"Cina tampaknya sudah menghentikan impor pertaniannya dari AS sama sekali," kata Xu Tianchen, ekonom senior di Economist Intelligence Unit.
Cina telah bertekad untuk melawan AS habis-habisan dalam perang tarif ini dan melindungi ekonomi dari guncangan eksternal. Pasar secara luas mengharapkan otoritas untuk meluncurkan langkah-langkah stimulus fiskal dan moneter lebih lanjut dalam beberapa bulan mendatang untuk mendukung pertumbuhan.
Ekspor telah menjadi satu-satunya titik terang dalam perekonomian Cina, yang telah berjuang untuk membangun pemulihan setelah Covid-19 yang solid karena keyakinan tetap rendah dalam menghadapi krisis properti yang berkepanjangan dan tekanan deflasi yang semakin dalam.
Kantor berita Xinhua melaporkan, Presiden Xi Jinping, dalam komentar publik pertamanya mengenai tarif, mengatakan kepada Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez bahwa Cina dan Uni Eropa harus bersama-sama menentang tindakan intimidasi sepihak.
Xi memulai lawatannya ke tiga negara di Asia Tenggara pada Senin (14/1), yang bertujuan untuk mengonsolidasikan hubungan dengan beberapa tetangga terdekat Cina di tengah gangguan tarif.
Organisasi Perdagangan Dunia telah memperingatkan bahwa pertikaian perdagangan Cina-AS yang berisiko tinggi dapat memangkas pengiriman barang antara kedua ekonomi hingga 80% dan sangat merugikan pertumbuhan global.
Goldman Sachs minggu lalu menurunkan perkiraannya untuk pertumbuhan PDB Cina tahun 2025 menjadi 4% dari 4,5%, dengan alasan dampak tarif. Citi juga memangkas perkiraannya menjadi 4,2% dari 4,7% dua hari sebelumnya. Prakiraan mereka yang direvisi jauh di bawah target pertumbuhan pemerintah sebesar sekitar 5%.