Pemerintah Diminta Dorong Sektor Tekstil Untuk Atasi Premanisme di Industri

Andi M. Arief
17 April 2025, 17:32
Tekstil
ANTARA FOTO/Abdan Syakura/YU
Pekerja menyelesaikan produksi kain di PT Trisula Textile Industries, Kota Cimahi, Jawa Barat, Selasa (15/4/2025). Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendorong pemerintah agar kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib dan pelabelan dalam bahasa Indonesia diberlakukan kembali di perbatasan (border) guna mengamankan pasar domestik dari limpahan impor barang tekstil yang tidak sesuai standar dan lebih murah (dumping) dari negara lain yang terdampak tarif timbal balik atau resiprokal Amerika Serikat k
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan bahwa masalah premanisme di kawasan industri bisa diselesaikan jika pemerintah serius mendorong industrialisasi di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).

Wakil Ketua Umum API, Ian Syarif, mengatakan bahwa maraknya praktik premanisme berakar dari minimnya lapangan kerja di dalam negeri.

Menurutnya, pengembangan industri tekstil dapat menyerap jutaan tenaga kerja baru dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap organisasi masyarakat (ormas) yang kerap melakukan tindakan premanisme.

"Kalau serius industrialisasi sektor tekstil, menaikkan serapan tenaga kerja dari saat ini 3,3 juta orang menjadi 7 juta orang tidak sulit," ujar Ian di Jakarta, Kamis (17/4).

Ia menjelaskan bahwa industri tekstil cocok dengan profil tenaga kerja nasional, yang rata-rata hanya menempuh pendidikan selama 8,5 tahun.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 4,13 juta pengangguran di Indonesia hanya memiliki pendidikan hingga SMA atau SMK. Ini setara dengan 55,36% dari total pengangguran sebanyak 7,46 juta orang per Agustus 2024.

"Industri yang bisa menerima pengangguran dengan pendidikan maksimal SMA maupun SMK hanya industri tekstil. Saya rasa industri tekstil akan mendukung program Makan Bergizi Gratis karena kami juga memberi makan siang gratis," katanya.

Ian juga mencontohkan keberhasilan Vietnam yang mampu menyerap 9 juta tenaga kerja di sektor tekstil, meski pasar domestik negara tersebut lebih kecil dari Indonesia. Ia meyakini hal serupa bisa terjadi di Indonesia.

"Dulu, masa Orde Baru, kita pernah mencapai status industrialisasi di sektor tekstil. Saat itu, upah buruh pabrik tekstil 15% lebih tinggi dari upah minimum. Itu masa-masa indah bagi pekerja tekstil. Dalam kondisi itu, tidak ada yang mau bergabung dengan ormas," ujarnya.

Premanisme Tak Hanya oleh Preman, Tapi Juga Ormas dan Pemda

Sebelumnya, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengungkap bahwa aksi premanisme di kawasan industri tidak hanya dilakukan oleh preman jalanan, tetapi juga oleh oknum ormas dan pemerintah daerah.

Selain itu, skema premanisme sekarang sudah sporadis, sistematis, dan bersifat kelembagaan. Bahkan, ada yang dilakukan secara terjadwal dan didukung oknum aparat pemerintah daerah.

Menurutnya, pelaku premanisme kerap mengganggu proses produksi dan distribusi, terutama saat hak-hak pekerja seperti Tunjangan Hari Raya (THR) tidak terpenuhi. Dalam beberapa kasus, akses menuju pabrik ditutup untuk menekan pengusaha.

"Bentuk kerugian yang kami alami tidak harus dalam bentuk rupiah, tapi bisa juga berupa terganggunya proses pengiriman," kata Bob.

API dan Apindo sama-sama mendorong pemerintah agar lebih aktif menciptakan iklim usaha yang kondusif, baik dengan mendorong industrialisasi di sektor padat karya maupun menertibkan oknum yang terlibat dalam praktik premanisme terorganisasi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan