Tes Imunitas Corona dan Harapan Ekonomi Kembali Berputar
Badan pengawasan obat dan makanan Amerika Serikat FDA telah mengizinkan sekitar 90 perusahaan – kebanyakan asal Tiongkok – untuk menjual alat tes serologi alias tes darah guna mendeteksi antibodi virus corona. Tes ini akan digunakan sebagai alat “screening” dalam memilah warga yang siap kembali bekerja, dengan asumsi sudah memiliki imunitas.
Washington Post memberitakan, Presiden Donald Trump memuji langkah FDA. Alat-alat tersebut akan mendukung upaya agar warga Amerika bisa kembali bekerja, “dengan menunjukkan kepada kita siapa yang kemungkinan sudah membangun imunitas yang hebat dan indah.” Tes ini juga digadang-gadang bisa menjadi acuan dalam menentukan tenaga medis yang siap berada di garda terdepan.
Banyak pihak memang menaruh harapan bahwa tubuh manusia akan membetuk imunitas yang bakal mengakhiri pandemi corona. Apalagi, pengembangan vaksin dan obat khusus corona bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Namun, apakah imunitas sudah terbentuk dan tes ini bisa digunakan untuk menilai imunitas seseorang?
(Baca: Mengenali Tiga Tipe Mutasi Covid-19 yang Berbeda di Berbagai Negara)
Direktur Eksekutif Program Darurat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Mike Ryan menyatakan, berdasarkan banyak informasi awal yang diterima organisasinya, seroprevalensi alias jumlah orang dalam populasi yang memiliki antibodi yang dimaksud sangat rendah. Jadi, imunitas belum bisa menjadi solusi yang diandalkan pemerintah.
“Ada ekspektasi bahwa herd immunity mungkin sudah terbangun dan bahwa mungkin mayoritas masyarakat telah membangun antibodi. Saya pikir bukti secara umum bertolak belakang dengan hal itu. Ini ditunjukkan oleh seroprevalensi yang lebih rendah,” ujarnya dalam Konferensi Pers beberapa waktu lalu.
(Baca: Gagal di Inggris & Belanda dalam Hadapi Corona, Apa Itu Herd Immunity?)
Ia mengatakan, penelitian juga masih perlu dilakukan untuk mengetahui berapa lama antibodi tersebut bisa memproteksi tubuh manusia dari virus corona. Sejauh ini, tak ada seorang pun yang yakin bahwa orang dengan antibodi yang dimaksud terproteksi penuh dari kemungkinan terinfeksi lagi.
Lebih lanjut, ia menyoroti isu sensitivitas tes yang dimaksud, yakni terkait risiko hasil tes salah – alhasil, orang merasa dirinya tidak bisa terinfeksi corona, ternyata bisa. “Bukannya tes ini tidak bisa dipakai, tapi banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menstandardisasi tes, guna memastikan tervalidasi,” kata dia.
(Baca: Menelusuri Asal Teori Konspirasi 5G dan Corona, Serta Kebenarannya)
Berdasarkan data John Hopkins per 20 April 2020, terdapat 2,4 juta kasus positif corona yang dilaporkan dari seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 632 ribu sembuh, dan hampir 166 ribu meninggal.
Tiongkok yang menjadi episentrum awal virus corona telah melaporkan temuan pasien corona yang sembuh terinfeksi kembali. Dugaan yang berkembang dari mulai tes sebelumnya tidak akurat hingga imunitas yang belum terbentuk. Sejauh ini, dikutip dari Wallstreet Journal, negala lainnya, Korea Selatan, telah mencatatkan seratusan kasus infeksi kembali.
Prediksi Akhir Corona, Dengan atau Tanpa Imunitas Permanen
Banyak peneliti telah membuat prediksi akhir pandemi corona, yang terkini para peneliti Harvard. Mereka menggunakan data betacoronavirus yang ada di AS untuk memprediksi gelombang penyebaran virus corona, dengan memperhitungkan juga kemungkinan pembentukan imunitas.
Para peneliti Harvard tersebut -- Stephen M. Kissler, Christine Tedijanto, Edward Goldstein, Yonatan H. Grad, dan Marc Lipsitch -- memprediksi gelombang baru penyebaran virus corona saat musim dingin, setelah gelombang besar pertama.
(Baca: Munculnya 10 Peluang Bisnis Baru dari Hidup "Normal" di Masa Pandemi)
Bila imunitas yang terbentuk seiring waktu bersifat permanen, virus akan hilang dalam lima tahun, atau lebih setelah puncak pandemi. Jika imunitas tidak permanen, maka virus ini akan mengalami sirkulasi reguler seperti influenza.
Dengan prediksi adanya gelombang lanjutan corona, para peneliti merekomendasikan pemberlakuan jarak sosial secara putus-putus (intermitten distancing). Ini guna mencegah fasilitas perawatan kritis mengalami kelebihan kapasitas.
“Intermitten distancing kemungkinan diperlukan hingga 2022, kecuali fasilitas perawatan kritis meningkat secara substansial atau tersedianya vaksin,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.