Taiwan Khawatir dengan Latihan Militer Tiongkok yang Makin Agresif
Pemerintah Taiwan khawatir dengan lonjakan latihan militer Tiongkok di dekat pulau yang dianggap Beijing sebagai miliknya. Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu menyebut Tiongkok sedang meningkatkan kesiapan militernya secara bertahap terutama di udara atau di perairan dekat Taiwan.
"Apa yang sedang dilakukan Tiongkok sekarang adalah terus meningkatkan kesiapan untuk menyelesaikan masalah Taiwan. Ancaman sedang meningkat," ujar Wu dikutip dari Reuters, Rabu (22/7).
Kementerian Pertahanan Taiwan pada Juni melaporkan delapan insiden masuknya pesawat militer Tiongkok di zona kawasan pertahanan udara Taiwan. Taiwan memberikan peringatan radio untuk mengantarkan para penyusup keluar dari wilayah udara.
Wu mengatakan gangguan seperti itu terjadi hampir setiap hari pada Juni lalu bahkan lebih sering daripada yang diungkapkan pemerintah kepada publik. Kondisi ini membuat Taiwan memprioritaskan modernisasi persenjataan sekaligus meningkatkan latihan militer.
Kekhawatiran Taiwan juga membuat mereka mempererat hubungan keamanannya dengan sekutu, termasuk Amerika Serikat. Padahal AS tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan tetapi merupakan pendukung internasional terkuat dan pemasok senjata utama.
Forbes menyebutkan dari data satelit Tiongkok menempatkan sejumlah jet tempur di Pulau Woody atau Pulau Yongxing, Kepulauan Paracel, Laut China Selatan. Kepulauan Paracel menjadi sumber sengketa antara Tiongkok dan Taiwan serta Vietnam. Sedangkan Pulau Woody merupakan lokasi pangkalan militer terbesar Tiongkok di Laut China Selatan.
Militer Tiongkok atau Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) memang menyatakan menggelar latihan serangan maritim di Laut China Selatan akibat provokasi Amerika Serikat. Sejak awal Juli, AS mengirim dua kapal induknya ke Laut China Selatan untuk menggelar latihan.
Berdasarkan laporan media Tiongkok, Global Time, Beijing menganggap kapal perang AS telah menerobos wilayah Tiongkok dengan berlayar ke perairan Kepulauan Nansha pada 14 Juli lalu.
Mantan Komandan Sekutu Tertinggi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan pensiunan Angkatan Laut AS, Laksamana James Stavrdis dalam opininya di Bloomberg, Jumat (22/5) mengatakan, yang menjadikan kawasan Laut China Selatan strategis karena dasar lautnya penuh dengan cadangan minyak dan gas.
Selain itu, hampir 40% perdagangan internasional melewati jalur ini. Itu belum menghitung melimpahnya ikan kerapu, napoleon, hingga lobster yang bernilai tinggi di perairan ini. Maka tak jarang konflik antaranegara yang berbatasan di wilayah ini dipicu oleh insiden yang melibatkan nelayan.
Menurut Stavrdis, Tiongkok telah mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai laut teritorialnya. Dasar-dasar historis klaim Tiongkok terhadap wilayah ini bermula dari pelayaran laksamana Zheng He abad ke-15. Stavrdis menulis tentang laksamana Zheng dalam buku terbarunya "Sailing True North".
Stavrdis mengatakan, Tiongkok tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim seluruh Laut Ciina Selatan sebagai ‘danau’ pribadi mereka. Klaim Tiongkok ini telah ditolak dengan tegas oleh semua negara yang berada di sekitar badan air ini dan pengadilan internasional.
Untuk melawan klaim Tiongkok, Angkatan Laut AS melakukan apa yang disebut kebebasan patroli untuk menunjukkan bahwa Laut Cina Selatan adalah perairan internasional, atau laut lepas. Namun, patroli AS ini kerap memperuncing masalah.