Facebook Setuju Bayar Rp 11,3 T untuk Kasus Cambridge Analytica
Pemilik Facebook, Meta Platforms Inc (META.O) setuju untuk membayar $725 juta, sekitar Rp 11,3 triliun, untuk menyelesaikan gugatan class action. Raksasa media sosial itu digugat karena diduga mengizinkan pihak ketiga, termasuk Cambridge Analytica, untuk mengakses informasi pribadi penggunanya.
Jumlah penyelesaian yang diusulkan Meta ini diajukan ke pengadilan pada Kamis (22/12) malam waktu Amerika Serikat, seperti diberitakan Reuters. Hal ini ditawarkan untuk menyelesaikan gugatan kepada Facebook, setelah pada 2018 diduga memberikan perusahaan konsultan politik asal Inggris, Cambridge Analytica, untuk mengakses data pribadi sekitar 87 juta pengguna.
Pengacara dari pihak penggugat, menyebut tawaran penyelesaian ini, sebagai yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat terkait gugatan class action menyangkut data pribadi, juga jumlah terbesar yang pernah dibayarkan Meta untuk menyelesaikan gugatan class action.
"Penyelesaian bersejarah ini akan memberikan rasa lega dalam kasus privasi yang rumit dan baru ini," kata pengacara utama penggugat, Derek Loeser dan Lesley Weaver, dalam pernyataan bersama, seperti dikutip Reuters, Jumat (23/12).
Akan tetapi, Meta tidak mengakui telah melakukan kesalahan sebagai bagian dari penyelesaian ini. Perusahaan mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa penyelesaian adalah "demi kepentingan terbaik komunitas dan pemegang saham kami."
"Selama tiga tahun terakhir kami mengubah pendekatan kami terhadap privasi dan menerapkan program privasi yang komprehensif," kata Meta.
Namun keputusan akhir masih perlu mendapatkan vonis dari hakim federal di San Francisco, AS.
Berkas penyelesaian ini menjadi babak akhir dari klaim pengguna Facebook, bahwa perusahaan melanggar berbagai undang-undang federal dan negara bagian dengan membiarkan pengembang aplikasi dan mitra bisnis mengambil data pribadi mereka tanpa persetujuan.
Sebelumnya Facebook telah memberikan argumen, bahwa pengguna tidak memiliki kepentingan privasi yang sah atas informasi yang mereka bagikan dengan teman di media sosial. Tetapi Hakim Distrik AS, Vince Chhabria, menyebut pandangan itu keliru, sehingga pada 2019 membiarkan kasus ini dilanjutkan.
Kasus ini bermula ketika Cambridge Analytica diduga memperoleh informasi data pribadi tanpa persetujuan pengguna, dari seorang peneliti yang mendapatkan izin Facebook untuk menyebarkan aplikasi di jaringan media sosialnya. Aplikasi tersebut mengambil data dari jutaan pengguna.
Skandal Cambridge Analytica kemudian memicu penyelidikan pemerintah Amerika Serikat terhadap praktik privasi dan mengasilkan tuntutan hukum. Pada akhirnya, skandal ini juga membuat kongres AS sampai memanggil CEO Meta, Mark Zuckerberg.
Pada 2018, Facebook pernah mengungkapkan bahwa informasi pribadi sekitar 87 juta pengguna mungkin telah ‘dibagikan secara tidak benar’ dengan Cambridge Analytica. Perusahaan konsultan ini juga berafiliasi dengan kampanye kepresidenan Donald Trump pada 2016.
Berdasarkan data Internet World Stats, jumlah pengguna Facebook di dunia mencapai 1,35 miliar pada akhir Juli 2022. Di periode tersebut, India merupakan negara dengan jumlah pengguna terbesar di Asia, yakni 515,8 juta pengguna. Jumlah tersebut mencapai 36,7% dari total penduduknya yang mencapai 1,4 miliar jiwa.
Pada 2019, Facebook setuju untuk membayar $5 miliar untuk menyelesaikan penyelidikan Komisi Perdagangan Federal atas praktik privasinya, dan $100 juta untuk menyelesaikan klaim Komisi Sekuritas dan Pertukaran AS.
Sementara itu, Cambridge Analytica saat ini sudah tidak lagi beroperasi.
Selain kasus class action ini, Facebook juga masih menghadapi gugatan dari Kejaksaan Agung Washington D.C. Amerika Serikat (AS). Mereka menggugat Zuckerberg soal skandal Cambridge Analytica, karena pendiri Facebook ini dianggap harus bertanggung jawab secara pribadi atas pelanggaran data itu.