Cambridge Analytica dan Peran Negara dalam Perlindungan Data Pribadi

Pingit Aria
30 Januari 2020, 06:00
Facebook & Cambridge Analityca
123RF.com/Andrey Yanevich

Skandal pencurian data puluhan juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica mencuat pada Maret 2018. Diberitakan pertama kali oleh dua media besar, The Guardian Inggris, dan The New York Times Amerika Serikat (AS), peristiwa itu menjadi perbincangan di seluruh dunia. Masyarakat jadi kian sadar akan pentingnya peran negara dalam perlindungan data pribadi.

Cambridge Analytica merupakan lembaga konsultan yang disewa penasihat politik Donald Trump, Steve Bannon untuk memenangkan Pemilu AS, 2016. Namun, pencurian data oleh Cambridge Analytica dilakukan lewat aplikasi kuis kepribadian yang dibuat seorang peneliti Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan, sejak 2013.

Aplikasi yang dibuat Kogan,"this is your digital life" diujikan pada Juni 2014 kepada 300 ribu pengguna Facebook. Namun, Cambridge Analytica tidak hanya mengakses data peserta kuis, melainkan juga teman-teman Facebook mereka. Akibatnya, data puluhan juta pengguna, termasuk dari Indonesia, ikut bocor. 

Kuis ini mensyaratkan pengguna menyertakan informasi diri seperti riwayat Pendidikan dan tempat tanggal lahir. Selain data pribadi, aplikasi ini juga mengumpulkan data 'like' para pengguna, tokoh-tokoh yang diikuti, sumber berita yang dibaca, juga reaksi mereka terhadap suatu isu.

Data ini memungkinkan Cambridge Analytica menargetkan kelompok orang yang belum menentukan pilihan, tetapi memiliki probabilitas tinggi untuk memilih. Kampanye Trump pun menjadi lebih tepat sasaran.

“Berbeda dengan kampanye di tempat terbuka zaman dulu, ini seperti membisikkan pesan ke telinga orang-orang. Tiap pesan itu disesuaikan dengan isu-isu yang menarik perhatian mereka, sehingga lebih efektif,” kata Christopher Wylie, mantan pegawai Cambridge Analytica yang menjadi peniup peluit dalam kasus ini.

(Baca: Mark Zuckerberg, Bahaya Penguasa Facebook, Instagram dan Whatsapp)

CEO Facebook Mark Zuckerberg telah mengkonfirmasi kebocoran data tersebut. Facebook kemudian membatasi akses pengembang aplikasi eksternal ke data penggunanya.

"Saya yang memulai Facebook, dan pada akhirnya saya yang bertanggung jawab dengan apa yang terjadi di platform kami. Kami akan belajar dari pengalaman ini untuk menjaga keamanan platform kami dengan lebih baik dan membuat komunitas kami lebih aman bagi semua orang," kata Zuckerberg melalui sebuah catatan di akun Facebook-nya.

Kasus ini membuat Cambridge Analytica bangkrut dan menutup kantornya di Inggris dan AS. Sedangkan saham Facebook sempat anjlok, meski kemudian bangkit kembali. Zuckerberg juga harus bersaksi di hadapan Kongres Amerika Serikat, serta di hadapan Parlemen Eropa untuk menjelaskan detail kasus ini.

Pada Mei 2018, Facebook merilis fitur yang memungkinkan pengguna mengetahui 'dapur' iklan politik yang berseliweran di platform-nya. Untuk tahap awal, fitur ini baru diluncurkan di Amerika Serikat, namun akan diterapkan juga di wilayah lain, termasuk Indonesia.

Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari menjelaskan, politisi wajib menyertakan data diri dan donatur jika berkampanye senilai lebih dari US$ 500 atau setara Rp 7 juta. "Kami tidak mau Facebook dipakai untuk kepentingan berpolitik yang tidak selayaknya," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Cindy Mutia Annur, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...