Investasi Cina di Asia Naik 37%, Indonesia Penerima Terbesar

Hari Widowati
7 Maret 2024, 09:59
Ilustrasi investasi Cina di Indonesia
ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia/tom.
Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping berjabat tangan saat menghadiri Operasionalisasi Komersial Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Great Hall of the People, Beijing, China, Selasa (17/10/2023).

Keterlibatan dalam Koridor Ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC) turun sekitar 74%, di tengah gejolak politik negara Asia Selatan dan kekhawatiran atas militansi. Keterlibatan di Australia turun sekitar 66%.

Secara keseluruhan, perusahaan swasta Tiongkok mendominasi investasi Asia-Pasifik pada tahun lalu. Kali ini lebih banyak pemain Tiongkok yang bergabung dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Keterlibatan konstruksi, seperti tahun lalu, didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara.

Transisi Energi dan Bahan Baterai Kendaraan Listrik

Sebagian besar investor swasta baru terlibat dalam transisi energi dan bahan baterai. Hal ini menggarisbawahi pendakian Cina ke puncak rantai pasokan industri mineral penting dan energi terbarukan di dunia.

Zhejiang Huayou Cobalt, salah satu pemurni kobalt terbesar di dunia, berkontribusi 21,2% terhadap total investasi Cina di Asia. Grup e-commerce Alibaba menyusul di posisi kedua dengan kontribusi sebesar 11,6%.

Pergerakan Tiongkok di bidang logam dan pertambangan, terutama sumber daya yang relevan dengan transisi hijau seperti lithium dan bahan baterai seperti nikel untuk kendaraan listrik, berpusat di Indonesia, Korea Selatan, Vietnam, dan Bangladesh. Nilai investasi di sektor tersebut mencapai US$5,3 miliar (Rp 82,68 triliun), tumbuh 130% dari tahun 2022. Akan tetapi, masih di bawah kecepatan yang terlihat pada tahun 2018 dan 2019.

Investasi penting di sektor kendaraan listrik meliputi usaha patungan antara Zhejiang Huayou Cobalt dan LG Chem di Korea Selatan, serta pabrik produsen mobil Cina di negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Serupa dengan BRI secara keseluruhan, keterlibatan Tiongkok di Asia-Pasifik tidak selalu sejalan dengan strategi Beijing dalam mengejar proyek-proyek "kecil namun indah". Setelah sepuluh tahun Belt and Road, ada banyak pembicaraan tentang kalibrasi ulang terhadap upaya yang lebih sederhana, terutama mengingat masalah ekonomi Cina saat ini.

Namun, ukuran kesepakatan rata-rata untuk investasi tetap tinggi pada tahun 2023, yaitu US$499 juta (Rp 7,78 triliun). Angka tersebut lebih dari dua kali lipat dari nilai terendah US$195 juta (Rp 3,04 triliun) pada tahun 2021, tetapi sedikit di bawah US$583 juta (Rp 9,09 triliun) yang tercatat pada tahun 2022. Untuk proyek konstruksi, nilai kesepakatan meningkat menjadi US$401 juta (Rp 6,25 triliun) pada tahun 2023 dari US$285 juta (Rp 4,45 triliun) pada tahun sebelumnya.

Laporan ini juga memprediksi pemulihan lebih lanjut dalam investasi dan konstruksi Cina di Asia-Pasifik pada tahun ini. Faktor-faktor yang menjadi katalis adalah meningkatnya urgensi dalam transisi hijau serta melemahnya permintaan domestik yang mendorong perusahaan-perusahaan Cina mencari peluang di luar negeri.

"Cina mungkin akan melanjutkan keterlibatannya dalam proyek-proyek infrastruktur strategis besar yang mungkin tidak memiliki keuntungan finansial secara langsung," kata laporan tersebut, merujuk pada rel kereta api, jalan raya, dan pelabuhan. Pasalnya, Cina berusaha untuk menghindari ketergantungan pada jalur-jalur transportasi yang rentan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...