5 Faktor Pendorong Perilaku Flexing yang Perlu Diketahui
Beberapa waktu terakhir, istilah flexing ramai menjadi perbincangan pengguna sosial media di Indonesia. Fenomena ini naik daun setelah muncul istilah “sultan” atau crazy rich yang disematkan kepada beberapa pihak.
Seiring meningkatnya popularitas dari flexing, banyak perusahaan yang akhirnya memanfaatkannya menjadi strategi marketing yang efektif untuk menjaring perhatian banyak orang. Lantas, apa sebenarnya flexing itu? Simak penjelasannya berikut ini.
Apa Itu Flexing?
Flexing adalah perilaku pamer di media sosial dengan model unggahan tentang pencapaian atau prinsip secara pribadi. Tujuan flexing cukup beragam, mulai dari kepentingan endorsement, untuk menampilkan kredibilitas atas sebuah kemampuan, hingga untuk tujuan mencari pasangan.
Tindakan flexing sebenarnya tidak hanya pencitraan diri saja, namun merupakan alat marketing perusahaan. Yang dilakukan mereka yaitu market signalling atau aktivitas mengirimkan sinyal marketing.
Strategi tersebut ini umumnya dilakukan dengan bekerja sama dengan influencer sosial media sehingga cepat menarik perhatian calon konsumen. Dalam kondisi ini, flexing berguna untuk mengembangkan usaha karena merupakan bagian dari alat marketing.
Namun di lain kondisi, terkadang banyak orang menggunakan flexing untuk alat menipu orang lain. Contoh flexing yang tidak baik yaitu seorang afiliator trading yang memamerkan hartanya agar masyarakat tergiur mengikuti trading yang dipromosikannya. Oleh sebab itu, masyarakat perlu cermat dalam menilai seseorang yang tampil di sosial media dengan segala kemewahan yang ditunjukkannya.
Faktor Pendorong Perilaku Flexing di Media Sosial
Perilaku “pamer” di media sosial tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan ini. Berikut penjelasannya.
1. Rasa percaya diri
Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa, seseorang yang sedang merasa sedih atau rendah diri, biasanya akan membeli barang-barang mewah. Perilaku flexing juga bisa disebabkan karena rasanya insecure, ragu kepada diri sendiri, hingga memerlukan validasi dari lingkungan sekitarnya.
2. Keinginan menarik perhatian lawan jenis
Perilaku konsumerisme juga bisa didorong oleh keinginan untuk menarik perhatian lawan jenis atau orang lain yang disukai. Umumnya seseorang ingin keberadaannya terlihat, sehingga berupaya menunjukkan perilaku mencolok, salah satunya yaitu dengan menampilkan kemewahan.
3. Memiliki masalah dengan kepribadiannya
Flexing juga didorong oleh masalah kepribadian. Beberapa jenis kepribadian yang mendukung flexing, antara lain; histironik dan narsistik. Perlu diketahui bahwa, sikap histrionik merupakan sikap senang mencari perhatian. Sedangkan narsistik merupakan perasaan saat seseorang merasa dirinya lebih hebat dari orang lain.
5. Memiliki tekanan sosial
Sikap senang pamer kekayaan juga bisa dipengaruhi oleh adanya tekanan sosial. Tuntutan gaya hidup dari lingkungan bisa menyebabkan seseorang perlu melakukan hal tersebut.
Akibat Perilaku Flexing
Perilaku flexing dengan tujuan strategi marketing memang cukup menguntungkan. Namun jika dilakukan dengan tujuan pamer kekayaan, tentu memberikan dampak yang kurang baik. Berdasarkan penjelasan di doktersehat.com, berikut ini beberapa akibat sering melakukan flexing.
1. Berpotensi memaksakan keadaan
Dampak dari pamer kekayaan yaitu berpotensi memaksakan keadaan. Hal ini dikarenakan terbiasa tampil dengan barang mewah bisa membuat seseorang semakin ingin menunjukkan eksistensinya.
Hal ini berbahaya, jika dikemudian hari yang bersangkutan tidak bisa memenuhi keinginan tersebut. Maka, kondisi tersebut dapat mengarah ke pemaksaan kedaan. Orang yang terbiasa flexing umumnya akan berupaya untuk melakukan flexing walaupun dalam kondisi yang tidak memungkinkan.
2. Kesulitan dalam mendapat teman
Banyak di antara kita yang beranggapan bahwa memiliki kekayaan bisa menarik perhatian banyak orang dan menambah teman. Faktanya, seseorang yang biasa flexing justru sulit mendapatkan teman.
Sebuah studi dari jurnal Social Phsycological and Personality Science menyebutkan bahwa, sebanyak 66% orang cenderung memilih mobil mewah dibandingkan mobil standar. Namun, dalam menarik orang baru, kebanyakan orang justru lebih senang berteman dengan seseorang yang memiliki kendaraan standar.
3. Dapat mengganggu kepribadian
Dampak lain dari flexing yaitu bisa mengganggu kepribadian seseorang. Menurut seorang psikolog di Knox College penulis buku The High Price of Materialism menyebutkan bahwa, seseorang yang flexing memiliki sikap kurang empati, kurang prososial, dan lebih kompetitif.
Tak hanya itu, seseorang yang biasa flexing juga cenderung tidak mendukung kelestarian lingkungan. Bahkan, cenderung mendukung keyakinan yang merugikan dan diskriminatif.
Demikian ulasan tentang flexing yang perlu dipahami. Dari penjelasan di atas kita juga bisa memahami bahwa flexing bisa berdampak baik atau buruk tergantung dari tujuannya. Jika bertujuan baik, maka dampak yang ditimbulkan juga baik.
Namun, jika tujuannya tidak baik maka bisa mengakibatkan hal yang tidak baik. Bahkan dapat menyebabkan gangguan kepribadian.