Praktisi Hukum Minta Pembahasan RKUHP Libatkan Publik & Transparan

Image title
18 November 2019, 08:45
Sejumlah mahasiswa dari universitas se-Bekasi menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019) menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Aliansi Nasional Reformasi mendesak DPR dan pemerintah unt
/home/ubuntu/Pictures/antarafoto/cropping/production/original/ANT20190926159.jpg
Sejumlah mahasiswa dari universitas se-Bekasi menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPRD, Kota Bekasi, Jawa Barat, Kamis (26/9/2019) menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Aliansi Nasional Reformasi mendesak DPR dan pemerintah untuk melibatkan publik serta bersikap transparan dalam pembahasan RKUHP.

Aliansi Nasional Reformasi mendesak DPR dan pemerintah untuk melibatkan publik serta bersikap transparan dalam pembahasan Rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP). Hal ini merupakan pendekatan baru guna menghidari polemik serta penolakan massal dari masyarakat terkait penyusunan RKUHP.

"Kami sangat setuju adanya RKUHP baru, tapi cara penyusunannya harus diubah karena selama ini menimbulkan gejolak jadi harus ada reformasi regulasi. Cara terbaiknya, yakni dengan melibatkan partisipasi masyarakatdan transparansi," ujar pakar hukum tata negara yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi Bivitri Susanti dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (17/11).

Adapun pembahasan dengan melibatkan publik bisa dilakukan setelah RKUHP masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas). 

(Baca: Anggota DPR Baru Saling Beda Pendapat soal Nasib Revisi KUHP)

Lebih lanjut, dia menekankan pendekatan penyusunan RKUHP model pertimbangan dan transparansi tak hanya melibatkan ahli hukum pembuat peraturan perundang-undangan, tetapi juga masyarakat yang akan terdapak dari rancangan undang-undang tersebut. 

Bahkan jika perlu, bisa pula dibentuk simulasi untuk mengedukasi masyarakat, tak sekedar sosialisasi. "Kalau perlu ada pelatihan jangan cuma menyalahkan mahasiswa atau orang lain yang belum paham. Sebab itu tugas pemerintah," katanya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM RI dan Komisi III DPR RI periode 2019 - 2024, pada Senin, 18 November 2019 dikabarkan akan menggelar Rapat Kerja (Raker) Pertama. Raker tersebut tak menutup kemungkinan akan membahas pula RKUHP yang merupakan naskah usulan pemerintah yang sempat menimbulkan pro-kontra.

Sejak ditunda pengesahannya pada 20 September 2019 lalu oleh Presiden untuk dibahas ulang dan dijaring ulang masukkan dari semua kalangan, timbul kabar bahwa anggota Komisi III dan Menteri Hukum dan HAM enggan membahas kembali RKUHP pada periode 2019-2024.

(Baca: 5 RUU Mulai dari Revisi KUHP hingga Minerba Dibahas DPR Mendatang)

Anggota Komisi III DPR justru berpendapat perubahan hanya dilakukan pada penjelasan, hanya untuk 14 pasal yang di-klaim pemerintah bermasalah dan hanya untuk diadakan sosialisasi. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No. 15 tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

RKUHP Bermasalah

Aliansi Nasional Reformasi Hukum juga mengkritisi setidaknya terdapat tiga pasal bermasalah lain yang selama ini tidak disoroti DPR maupun pemerintah.

Pakar Hukum Fakultas Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia, Andri Gunawan mengungkapkan, pasal tersebut antara lain mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam RKUHP (Pasal 45-50 RKUHP). Pasal 48 dan 50 dalam RUU KUHP tentang tindak pidana korporasi memasukkan rumusan yang tidak jelas dan sulit untuk diimplementasikan dalam tataran penegakan hukum.

"Jadi harus clear  tanggungjawab pengurus dan korparasinya. Kalau yang  itu diterapkan  akan berbahaya dan berpotensi terjadi pelanggaran HAM," katanya.

Kedua, rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKHUP (Pasal 346-347 RKUHP) masih bermasalah. Rumusan pasal ini kembali pada UU 23/1997.

Padahal UU tersebut tidak efektif dalam penegakan hukum lingkungan hidup sehingga diganti dengan UU 32/2009. Rumusan pasal 346 RKUHP akan menyulitkan pembuktian karena adanya unsur melawan hukum dan akibat. 

(Baca: Rencana Revisi KUHP Diminta agar Tidak Mengintervensi Hukum Adat)

Ketiga, yang tak pernah masuk 14 pasal bermasalah adalah Pasal 2 jo Pasal 597 RKUHP tentang living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Klaim bahwa pasal ini dimaksudkan untuk mengakui masyarakat adat tidak tergambar oleh rumusan dalam RKUHP. Dalam Pasal 2 jo Pasal 597 tidak jelas yang dimaksud antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat.

"Itu kemudian berpotensi semakin mempersulit," kata dia.

Kalangan mahasiswa juga turut mengkritisi RKUHP yang bermasalah itu. Bahkan, mahasiswa menyebut telah melakukan kajian ilmiah terhadap RKUHP sejak 2017 dan merilis hasil kajian di tahun 2018. Namun, hasil kajian itu tidak dipertimbangkan sehingga memunculkan gelombang demonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu.

"Jadi salah kalau ada yag bilang mahasiswa menolak RKUHP tanpa kajian, karena sudah dibahas sejak 2017," ujar Anissa Yusha Amalia, Ketua BEM FHUI 2019.

Dia menuturkan, gelombang aksi mahasiswa merupakan bantuk akumulasi kekecewaan, ditambah dengan partai yang ramai-ramai menyetujui RKUHP dan akhirnya kekecewan mahasiswa terakumulasi.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto
Editor: Ekarina

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...