Revisi KUHP Diklaim Perberat Hukuman Bagi Pejabat Korup, Benarkah?

Image title
21 September 2019, 14:46
Revisi KUHP, Korupsi, KPK, UU Tipikor
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Sejumlah demonstran melakukan aksi demo di depan gedung DPR MPR RI, Jakarta Pusat (16/9). Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah keukeuh memasukkan pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan pasal tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat hukuman yang lebih berat bagi penyelenggara negara yang terlibat korupsi. Hal ini dinilainya sebagai bentuk keadilan.  

Ia mengatakan ancaman hukuman minimal bagi penyelenggara negara dalam revisi KUHP lebih tinggi dibandingkan dalam UU Tipikor. "Di Pasal 3 tadinya satu tahun, kami bikin jadi dua tahun minimal," kata dia dalam Konferensi Pers di Kantornya, usai Presiden Jokowi meminta penundaan pengesahan revisi KUHP, Jumat (20/9).

(Baca: Rancangan KUHP Bertabur Pasal Kontroversial)

Selain untuk keadilan, menurut dia, hukuman minimal diperberat agar penyelenggara negara tidak sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaannya dalam mengambil kebijakan.

Di sisi lain, hukuman bagi masyarakat biasa yang melakukan tipikor disebut tidak berubah alias sama dengan UU Tipikor. Alasannya, peran masyarakat biasa dalam Tipikor dianggap tidak sebesar peran penyelenggara negara.

"Jadi melindungi pelaku yang tidak memiliki peran besar dalam tidak pidana korupsi dan memberikan ancaman yang lebih berat kepada pelaku yang memegang peran besar," ujarnya.

Adapun revisi KUHP yang mengatur soal korupsi menuai kontroversi. Pasalnya, pidana korupsi telah diatur dalam UU khusus yaitu UU Tipikor. Masuknya korupsi dalam KUHP akan membuat korupsi berubah dari pidana luar biasa menjadi pidana biasa.

Perbandingan Revisi KUHP dan UU Tipikor

Lantas, apakah benar hukuman bagi penyelenggara negara pelaku Tipikor lebih berat dalam revisi KUHP? Berdasarkan draf revisi KUHP per 15 September 2019 yang diperoleh katadata.co.id, terdapat pemberatan dan pelemahan dalam hukuman atas pelaku Tipikor. Selain itu, pelemahan berupa tidak adanya pidana tambahan, seperti uang pengganti.

Ketentuan mengenai Tipikor dalam revisi KUHP diatur pada pasal 604-607. Berikut beberapa perbandingannya dengan pasal dalam UU Tipikor:

Pertama, Pasal 604 revisi UU KUHP yang berpadanan dengan Pasal 2 UU Tipikor, mengatur tentang hukuman pidana untuk setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hukuman penjara dan minimal denda dalam Pasal 604 revisi KUHP tercatat lebih lemah dari Pasal 2 UU Tipikor. Pada Pasal 604 revisi KUHP, ancaman penjara seumur hidup atau paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.  

Sedangkan pada Pasal 2 UU Tipikor, pidana penjara seumur hidup, atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak 1 miliar.

(Baca: Ada 14 Pasal Kontroversial, Jokowi Minta DPR Tunda Sahkan Revisi KUHP)

Pasal 604 revisi UU KUHP berbunyi: “Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Kategori II dan paling banyak Kategori VI.

Kategori denda sesuai Pasal 79 revisi UU KUHP: Kategori I Rp 1 juta, kategori II Rp 10 juta, kategori III Rp 50 juta, kategori IV 200 juta, kategori V Rp 500 juta, kategori VI Rp 2 miliar, kategori VII 5 miliar, kategori VIII Rp 50 miliar.  

Pasal 2 UU Tipikor: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.”

Kedua, Pasal 605 revisi KUHP yang berpadanan dengan Pasal 3 UU Tipikor, mengatur tentang hukuman pidana untuk setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Hukuman penjara minimal dan denda maksimal pada Pasal 605 revisi KUHP lebih berat dibandingkan Pasal 3 UU Tipikor. Namun, denda minimal lebih ringan.

Ancaman pidana pada Pasal 605 revisi KUHP yaitu pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.

Sedangkan pada Pasal 3 UU Tipikor yaitu pidana penjara seumur hidup, atau paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak 1 miliar.

(Baca: DPR Akui Pengaturan Pidana dalam RKUHP Tak Gunakan Rumusan yang Jelas)

Revisi KUHP Pasal 605 berbunyi: “Setiap Orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”

UU Tipikor Pasal 3 berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Ketiga, Pasal 606 ayat 1 revisi KUHP yang berpadanan dengan Pasal 5 UU Tipikor, mengatur hukuman untuk orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil (PNS) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban.

Hukuman penjara sama antara Pasal 606 revisi KUHP dan Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor. Namun, ketentuan denda maksimal lebih berat dalam revisi KUHP.

Pada Pasal 606, penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit kategori III (Rp 50 juta) dan paling banyak kategori V (Rp 500 juta).

Sedangkan pada Pasal 5 ayat 1 UU Tipikor, penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

(Baca: Ada Dewan Pengawas, Pimpinan Baru KPK Sebut OTT Sulit Dilakukan )

Keempat, Pasal 606 ayat 2 revisi KUHP yang berpadanan dengan Pasal 5 ayat 2, mengatur hukuman untuk penyelenggara atau PNS yang menerima pemberian atau janji.

Hukuman penjara dan denda maksimal dalam Pasal 606 ayat 2 lebih berat dibandingkan Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor. Pada Pasal 606 ayat 2, penjara paling singkat 1 tahun, dan paling lama 6 tahun. Denda paling sedikit Rp 50 juta, dan paling banyak Rp 500 juta.

Sedangkan pada Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor, penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Pasal 606 ayat 1 revisi KUHP berbunyi:“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori V, Setiap Orang yang:

1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”

Pasal 606 ayat 2 revisi KUHP berbunyi: “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori V.”

Pasal 5 UU Tipikor ayat 1 berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta setiap orang yang:

1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”

Pasal 5 UU Tipikor ayat 2 berbunyi: “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).”

Kelima, revisi KUHP tidak mengatur tentang pidana tambahan, seperti uang pengganti, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...