PKS Ingin Amendemen UUD 1945 DIlakukan Saat Oposisi Kuat
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyarankan agar amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan dalam kondisi partai politik oposisi yang kuat. Kondisi oposisi yang lemah seperti saat ini dikhawatirkan memungkinkan salah satu pihak memasukkan agenda gelapnya melalui mekanisme pemungutan suara (voting).
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera mengatakan oposisi harus kuat agar ide-ide yang bertentangan dengan semangat reformasi tidak diakomodasi dalam perubahan dasar negara. Ia khawatir Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang bertentangan dengan kedaulatan rakyat.
"Kalau mau amendemen didampingi oposisi kuat dengan (perbandingan suara pemerintah dan oposisi) 60%:40% bagus, 55%:45% lebih bagus," kata Mardani kepada Katadata.co.id, Rabu (15/8) kemarin.
(Baca: Panasnya Wacana Amendemen UUD 1945 dan Kembalinya GBHN)
Saat ini baru PKS yang menyatakan diri sebagai oposisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin 2019-2024. Parpol lainnya seperti Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), hingga Demokrat belum menentukan apakah akan menjadi oposisi atau bergabung dengan pemerintahan Jokowi.
PKS sampai saat ini masih mengkaji perlu tidaknya amendemen UUD 1945. Meski demikian, ia mengapresiasi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memperingatkan risiko perubahan terbatas pada konstitusi tertinggi negara. "Dengan kondisi politik terbelah dan koalisi sangat gemuk, ini bukan waktu ideal," ujar Mardani.
(Baca: Jokowi Isyaratkan Tak Setuju Amendemen UUD 1945 dan GBHN)
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Jentera, Bivitri Savitri, terang-terangan menolak amendemen UUD 1945. Menurutnya, perubahan konstitusi sejatinya harus berasal dari permintaan masyarakat yang resah dengan keadaan yang ada. Ia mencontohkan keadaan politik 1998 membuat rakyat meminta adanya amendemen UUD dan terlaksana setahun setelahnya.
"Ini amendemen untuk kepentingan rakyat atau untuk kepentingan segelintir orang?," ujar Bivitri dalam diskusi Amendemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa, di Jakarta, Rabu (14/8).
Ia mencontohkan amendemen UUD 1945 yang sebelumnya dilakukan atas dorongan gerakan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat pada 1998. Amendemen juga harus memberikan implikasi konkret bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
(Baca: Pakar Sebut Amendemen UUD Jadi Celah Parpol Dikte Presiden)