Zona Ekonomi Eksklusif, Ketegangan di Laut Indonesia-Vietnam

Ameidyo Daud Nasution
25 Juni 2019, 13:10
zee indonesia-vietnam, zona ekonomi eksklusif, zee, vietnam, filipina, kedaulatan laut
ANTARA FOTO/JESSICA HELENA WUYSANG
Kapal patroli TNI AL melintasi belasan kapal nelayan Vietnam sesaat sebelum ditenggelamkan di Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Sabtu (4/5/2019). Kementerian Kelautan dan Perikanan menenggelamkan 13 dari 51 kapal nelayan asing asal Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Perairan Indonesia.

Sebenarnya dalam UU tersebut, pemerintah memperbolehkan pihak asing beroperasi di wilayah ZEE Indonesia. Namun hal tersebut harus berdasarkan izin dan persyaratan yang diberikan oleh pemerintah RI. Dalam Pasal 5 Ayat 3, tangkapan ikan diperbolehkan apabila potensi jumlah tangkapan melebihi kemampuan pihak Indonesia untuk memanfaatkannya.

(Baca: KKP Tangkap 17 Kapal Ikan Ilegal Malaysia Sejak Awal 2019)

Sedangkan UU Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 telah mengatur setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang beroperasi di ZEE Indonesia wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang diberikan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menetapkan standar jumlah Anak Buah Kapal (ABK) kapal penangkap ikan asing yang beroperasi di ZEE. "Wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen," demikian penjelasan Pasal 35A UU 45/2009.

Dalam UU 5 Tahun 1983, pelanggaran yang dilakukan atas ZEE RI akan diganjar dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp 225 juta. Sedangkan dalam UU Perikanan, kapal penangkap ikan asing yang tidak membawa surat izin di ZEE akan dihukum lebih berat lagi, yakni penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar.

Sengketa ZEE

Sengketa antara Indonesia dengan Vietnam bukan satu-satunya konflik batas ZEE antara dua negara. Norwegia dan Rusia sempat memperebutkan ZEE di wilayah Laut Barents sebelum keduanya bersepakat akan batas laut pada tahun 2020. Konflik ZEE antara Indonesia dengan tetangganya juga merupakan konflik laut yang lebih besar yakni perebutan Laut Cina Selatan.

Konflik batas Laut Cina Selatan diawali ketika tahun 2013 Tiongkok membangun di Kepulauan Spratly dan Paracel yang diklaim Tiongkok bagian dari Nine Dash Line atau peta garis demarkasi mereka. Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, serta Taiwan lantas memprotes karena bertabrakan dengan ZEE mereka. 

(Baca: Tiongkok Menghadang, Susi Meradang)

Wilayah konflik membentang dari Teluk Tonkin di Vietnam, Kepulauan Spratly, perairan Filipina, hingga Natuna di Kepulauan Riau. Jokowi bahkan pada tahun 2016 sempat menggelar rapat di perairan Natuna, tepatnya di KRI Imam Bonjol. "Presiden ingin menunjukkan Natuna bagian dari NKRI," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat itu.

Hal lainnya adalah pelanggaran laut yang dilakukan kapal ikan asal Vietnam memang menjadi langganan penindakan aparat Indonesia selama ini. Tercatat dari Oktober 2014 hingga Mei 2019 ada 294 atau hampir 57 persen dari kapal yang dimusnahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan berasal dari Vietnam. Terakhir, kapal perang RI yakni KRI Tjiptadi ditabrak oleh kepala pengawas perikanan Vietnam di perairan Natuna pada April lalu. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...