Enggan Tambal BPJS Rp 9,1 T, Sri Mulyani Minta Perbaikan Manajemen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati enggan menanggung seluruh defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (PBJS) Kesehatan selama tahun anggaran 2018 sebesar Rp 9,1 triliun. Sri meminta BPJS Kesehatan untuk berbenah memperbaiki sistem manajemen dan keuangan untuk meminimalkan defisit.
Sri berpatokan pada rekomendasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang telah mengaudit laporan keuangan BPJS Kesehatan anggaran 2018. BPKP telah mengidentifikasi beberapa hal yang harus dikerjakan oleh BPJS untuk mengurangi defisit.
“Rekomendasi BPKP agar BPJS menjalankan action plan agar bisa kurangi Rp9,1 triliun ini, yang memang under control dari BPJS Kesehatan,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Dengar Pendapat terkait audit keuangan BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI Jakarta, Senin (27/5) malam.
(Baca: Saling Tukar Informasi, BPJS Kesehatan Gandeng Bursa Efek Indonesia)
Rekomendasi dari BPKP yakni, sifatnya kepesertaan, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) kapitasi yang ada di pemda, pencegahan fraud, penagihan non-performing loan (NPL), dan sejumlah kerja sama lain yang bisa dilakukan.
Sri mengatakan beberapa upaya meminimalkan defisit terkait kewenangan Kementerian Kesehatan, sehingga dia berharap Menteri Kesehatan dapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut untuk meminimalkan defisit.
Kementerian Keuangan bersedia membantu menambal defisit BPJS apabila berbagai langkah upaha mengatasi kebocoran dana tersebut telah dilaksanakan. “Kalau nanti sudah dibersihkan action plan-nya, baru kami menambah kekurangannya,” kata Sri Mulyani.
(Baca: Pemerintah Berencana Perbesar Iuran BPJS yang Ditanggung Negara)
Sri Mulyani keberatan apabila BPJS Kesehatan mengalami defisit dan langsung datang ke Kementerian Keuangan meminta bantuan pembiayaan untuk menutup defisit. Dia menginginkan Kemenkeu bukan menjadi pembayar pertama, melainkan pembayar terakhir setelah berbagai upaya pengurangan defisit dilakukan.
Dia mencontohkan SILPA dana kapitasi tahun anggaran 2018 yang seharusnya didistribusikan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik untuk biaya layanan dan operasional sebesar Rp 2,5 triliun masih mengendap di pemerintah daerah.
(Baca: Penjelasan BPJS Soal Kebijakan Urun Biaya Medis dan Naik Kelas Rawat)
Menkeu menyarankan agar dana dimanfaatkan dan meminimalkan defisit perlu diterbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri Kesehatan guna mengatur hal tersebut.
BPJS Kesehatan juga diminta membereskan sistem pengelolaan data peserta dengan data cleansing untuk mencegah masalah seperti kepesertaan ganda. Selain itu BPJS Kesehatan juga baru mencapai kolektibilitas iuran dari Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar 53,7% dari target yang ditetapkan 60%.