KPU Minta Elite Politik Tak Ikut Sebarkan Disinformasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) meminta elite politik tidak ikut menyebarkan disinformasi terkait penyelenggaran Pemilu ketika berkampanye. Disinformasi akan membuat masyarakat mendapatkan informasi yang sepotong-potong dan tak tepat.
Hal tersebut lantas berpotensi membuat masyarakat meragukan kepercayaan para penyelenggara Pemilu, seperti KPU dan Bawaslu. Berdasarkan survei SMRC, saat ini ada 13 persen masyarakat yang tidak mempercayai kinerja KPU dan Bawaslu. (Baca: Pendukung Prabowo-Sandi Lebih Meragukan Kinerja KPU)
Jika dirinci, ketidakyakinan terhadap kinerja KPU dari pendukung pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebesar 23,3 persen. Sebaliknya, ketidakyakinan dari pendukung pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin kepada KPU sebesar 4,1 persen. Terkait pengawasan Bawaslu, SMRC menyebutkan ketidakyakinan pendukung Prabowo-Sandiaga sebesar 21,5%. Sementara, ketidakyakinan pendukung Jokowi-Ma'ruf terhadap pengawasan Bawaslu hanya sebesar 5,4%.
Melihat hasil survei ini, KPU berharap agar para elite politik tidak membuat sesuatu yang bisa membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu meningkat. "Jangan malah ikut-ikutan memperkeruh suasana dengan menyebarkan informasi yang tidak benar," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid di kantornya, Jakarta, Selasa (12/3).
(Baca: Pendukung Prabowo Ragukan KPU, TKN: Efek Kampanye Delegitimasi Pemilu)
Menurut Pramono, para elite politik seharusnya menyampaikan informasi positif kepada publik secara konstruktif dan memberi pendidikan politik pada masyarakat. Kampanye dapat mengedepankan capaian dan gagasan yang ditawarkan oleh para kandidat. "Jadi kedudukan posisi elitenya itu harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk menyebarkan luaskan informasi yang benar," ujarnya.
Jika ada kritik, para elite politik diminta tak langsung menuduh penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu melakukan kecurangan, lantas mencari argumennya belakangan. Menurut Pramono, tindakan tersebut tak bijak dan dapat mendelegitimasi penyelenggaraan Pemilu.
Dia mencontohkan hal tersebut seperti tudingan 17,5 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dalam Pilpres 2019. Tudingan itu sebelumnya disampaikan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, lantaran banyaknya orang yang lahir pada tanggal 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari.
(Baca juga: 43 Hari Jelang Pemilu, eKTP dan Pemilih Tambahan Masih Bermasalah)
Padahal, kesamaan tanggal lahir itu memang mekanisme Kementerian Dalam Negeri untuk mencatat orang-orang yang lupa tanggal lahirnya. "Kenapa masih dimunculkan lagi? Padahal itu sudah menjadi pengetahuan bersama, sudah dijelaskan oleh Kemendagri," kata Pramono.