Proyeksi Ekonomi Kreatif 2019: Makin Membesar dan Kebal Krisis
Pemerintah menginginkan produk domestik bruto ekonomi kreatif secara bertahap meningkat melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Bertolak dari pencapaian 2015 dan 2016, ambisi ini diyakini tercapai untuk dua tahun terakhir serta pada 2019.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf menyatakan, target produk domestik bruto (PDB) dalam Rencana Strategis 2015 - 2019 akan terlampaui. Pada tahun depan, PDB ekonomi kreatif (ekraf) dibidik 6,75% sedangkan secara nilai sekitar Rp 1.200 triliun.
"PDB tahun ini saja bisa Rp 1.105 triliun apalagi tahun depan. Ekonomi kreatif itu tidak mengenal krisis, justru terus melesat. Jadi realisasi akan lampaui semua target (Rencana Strategis)," katanya kepada Katadata.co.id di Jakarta, belum lama ini.
(Baca juga: Bekraf Sasar Pertumbuhan PDB Ekonomi Kreatif 6,25% Tahun Ini)
Data Badan Pusat Statistik yang dipublikasikan Bekraf mencatat PDB sektor kreatif sejak 2010 konsisten menanjak hingga terealisasi Rp 922,59 triliun pada 2016. Nilai ini setara 7,44% terhadap total perekonomian Indonesia, sedangkan Rencana Strategis Bekraf hanya menargetkan 5,21%.
Pada saat itu, Indonesia menjadi negara ketiga dengan kontribusi ekraf terbesar bagi perekonomian nasional. Urutan pertama Amerika Serikat (11,12%) dan kedua adalah Korea Selatan (8,67%). Porsi PDB ekraf RI lebih besar dari Rusia, Singapura, Filipina, dan Kanada.
Merujuk kepada data yang sama diketahui subsektor fesyen, kuliner, dan kriya selalu menjadi kontributor terbesar PDB ekraf. Tapi pertumbuhan bisnisnya tidak demikian. Empat subsektor yang tumbuh tertinggi adalah TV dan radio (10,33%); film, animasi, dan video (10,09%); seni pertunjukan (9,54%); serta desain komunikasi visual (8,98%).
(Baca juga: Bekraf Siapkan Skema Pendanaan Berbasis Kekayaan Intelektual)
Rencana Strategis Bekraf juga menargetkan 16 subsektor ekraf menyerap 17 juta tenaga kerja pada tahun depan. Pemerintah juga percaya diri angka ini terlampaui mengingat realisasi pada 2016 mencapai kisaran 16,9 juta orang. Bekraf bahkan sempat menyebut bakal mencapai 18 juta tenaga kerja pada tahun depan.
Triawan menjelaskan, sebetulnya terdapat kontradiksi di bidang ketenagakerjaan sektor kreatif. Pemerintah mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja tetapi pebisnis harus meningkatkan efisiensi produksi. (Baca juga: Usaha Sosial, Model Bisnis Alternatif Hadapi Bonus Demografi)
Pelaku usaha menginginkan produktivitas tinggi tanpa menambah sumber daya manusia (SDM) yang harus dibayar. Kenaikan produktivitas diyakini berimbas positif terhadap kinerja sektor kreatif karena dapat mendongkrak kontribusi PDB.
"Tapi tidak bisa juga lantaran efisiensi jadi mengurangi penyerapan tenaga kerja, karena populasi penduduk terus bertambah. Paradoks ini harus kami tangani. Idealnya tenaga kerja bertambah dan produktivitas meningkat," tutur dia.
(Baca juga: SDM Terkait Empat Subsektor Kreatif Ini Mulai Disertifikasi)
Perihal lain di dalam Rencana Strategis Bekraf untuk tahun ini menyoal ekspor. Penjualan produk kreatif ke luar negeri ditargetkan mendulang US$ 21,50 miliar. Angka ini memungkinkan tercapai lantaran pada 2016 realisasinya sudah US$ 19,99 miliar.
Aktivitas bisnis kreatif memiliki dua sisi, yakni berupaya memperbesar pangsa pasar di kancah global serta memaksimalkan penyerapan oleh konsumen domestik. Bekraf mengaku hendak fokus mengoptimalkan pasar lokal lebih dulu.
"Ini supaya semakin banyak produk subtitusi impor dari pelaku kreatif kita. Mungkin tak langsung menaikkan ekspor tetapi bisa mengurangi impor. Yang terpenting kan aspek balance of trade," katanya. (Baca juga: Industri Kreatif Butuh Insentif Pajak Sesuai Karakter Bisnisnya)
Ambisi merajai negeri sendiri sekaligus punya nama di negara orang tidak perlu dipisahkan. Populasi penduduk yang diproyeksikan bakal menyentuh 260 juta jiwa harus dilihat sebagai skala keekonomian. Pada saat yang sama, anak bangsa selayaknya mempersiapkan diri menuju panggung internasional.