Penolakan Bukti Rekaman dan Kejanggalan di Praperadilan Setya Novanto
Hakim Tunggal Pengadilan Cepi Iskandar akan mengumumkan putusan perkara sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto, Jumat (29/9) sore. Selama persidangan, sepak terjang hakim Cepi mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
KPK menyoroti sikap hakim yang menolak pemutaran rekaman yang merupakan bukti keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013.
Hakim Cepi menolak memutar rekaman berdurasi 40 menit dengan alasan telah memasuki pokok perkara karena menyangkut nama-nama tertentu. Sementara KPK menganggap penting untuk diperlihatkan kepada publik. "Sebetulnya kalau dibuka di praperadilan kemarin sangat bagus untuk kemudian bisa membuktikan pada rakyat banyak," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/9).
Agus menyatakan, ada beberapa pembicaraan saksi, baik dari dalam maupun luar negeri yang menyebutkan keterlibatan Novanto. "Sebenarnya kalau mendengar rekaman itu, akan jelas yang ngomong siapa, kemudian yang diomongkan apa," kata Agus.
ICW menyatakan penolakan hakim memutar rekaman sebagai hal yang sangat janggal. Apalagi rekaman tersebut merupakan salah satu bukti permulaan yang digunakan KPK dalam penetapan tersangka Novanto.
"Padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan SN dalam perkara korupsi e-KTP," kata anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter dalam keterangan tertulisnya.
ICW juga menyebutkan lima kejanggalan lain selama proses persidangan praperadilan Setya Novanto. Pertama, penolakan keterangan dari ahli teknologi informasi dari Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin. Bob sedianya menjadi saksi ahli dalam persidangan praperadilan dari pihak KPK pada Rabu (27/9).
Bob dihadirkan dalam persidangan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi e-KTP. Hakim Cepi menolak kesaksian Bob dengan alasan materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP.
Kedua, hakim menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September 2017. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan dua hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan SN yang sudah memasuki substansi pokok perkara.
Lalola menyatakan, keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015. Sayangnya, hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Hakim Cepi.
"Padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji-materilkan," kata Lalola.
Selain itu, Hakim Cepi juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Novanto sudah masuk dalam pokok perkara. Novanto menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.
Ketiga, hakim mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI) dalam sidang praperadilan 22 September 2017. Gugatan intervensi tersebut sebagai upaya menguatkan posisi KPK.
Pengabaian tersebut dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara. “Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017,” kata Lalola.
Keempat, pertanyaan Hakim Cepi kepada ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari sebagai kejanggalan. Sebab, Lalola menilai pertanyaan yang dilontarkan tentang sifat adhoc lembaga KPK itu tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan.
"Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut patut dipertanyakan," tutur Lalola.
Kelima, laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan. Kuasa Hukum SN membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang. Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK.
"Bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan yaitu BPK," kata Lalola.
Dengan adanya enam kejanggalan tersebut, ICW pun meminta publik mengantisipasi putusan praperadilan. Sebab, kejanggalan tersebut bisa menghasilkan dikabulkannya gugatan Novanto atas penetapan tersangkanya.
"Publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar," kata Lalola.