Payung Hukum Holding BUMN Dinilai Mengandung 8 Pelanggaran

Miftah Ardhian
19 Januari 2017, 16:21
BUMN Hadir Untuk Negeri
Arief Kamaludin|KATADATA

Payung hukum pembentukan perusahaan induk (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai sorotan. Payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas itu dinilai mengandung delapan pelanggaran sehingga akan digugat oleh masyarakat.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan, pihaknya telah mengkaji peraturan baru tersebut dan menemukan delapan permasalahan utama. Pertama, aturan itu inkonstitusional. Pasal 2A ayat I dalam aturan itu menyatakan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN, bisa dilakukan tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 

Aturan itu dinilai mengurangi kewenangan DPR sebagai lembaga negara dengan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Sebab, BUMN bisa saja dilepas kepada pihak swasta, terlebih lagi pihak swsata asing. (Baca: Payung Hukum Terbit, Holding BUMN Migas Tunggu Restu Kemenkeu)

Kedua, Pasal 2A itu juga bertentangan dengan UU Keuangan Negara pada Pasal 24 yang berbunyi "Pemberian pinjaman / hibah / penyertaan modal dan penerimaan pinjaman hibah ditetapkan dalam APBN dan APBD. "Artinya PP 72/2016 ini mengangkangi peraturan di atasnya atau dengan kata lain inkonstitusional," ujar Yenny saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/1).

Ketiga, berdasarkan UU BUMN, kekayaan negara yang dipisahkan dan berada di BUMN adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan PMN. Jadi, pelepasan kekayaan BUMN atau penyertaan kekayaan BUMN ke BUMN lainnya tetap harus melalui mekanisme APBN. Fitra menilai, aturan baru tersebut lebih merujuk kepada UU Perseroan Terbatas.

Keempat, aturan ini dianggap menghindari proses transparansi dan akuntabilitas jika tidak masuk skema APBN. Sebab, DPR tidak berhak melakukan pengawasan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tidak berhak mengaudit lantaran BUMN yang akan dibawah perusahaan induknya secara definisi sudah bukan sebagai BUMN.

Kelima, ketidakkonsistenan PP 72/2016 ini atas peraturan di atasnya. Keenam, mekanisme PMN dan jual beli saham dilonggarkan sehingga mudah dikuasai pihak lain. (Baca: Payung Hukum Holding Terbit, Pemerintah Tetap Kontrol BUMN)

Ketujuh, anak dan cucu perusahaan BUMN saat terbentuknya holding memang diperlakukan sebagai BUMN, tetapi bukan berbentuk BUMN. Hal ini menyebabkan cucu dan anak holding BUMN ini bisa mengerjakan penugasan dari pemerintah tetapi aksi korporasi yang dilakukan bisa segera dijalankan. Kedelapan, aturan ini melemahkan pengawasan DPR terhadap kinerja cucu dan anak perusahaan holding BUMN.

Karena itu, Yenny meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan PP 72/2016 ini. Kemudian, segera melakukan revisi UU BUMN sebagai payung hukum beberapa aturan, termasuk pembentukan holding BUMN agar tidak berbenturan dengan aturan di atasnya.

Di sisi lain, pengelolaan BUMN harus dikembalikan pada koridor konstitusional, terutama menyangkut APBN. Optimalisasi BUMN harus dikuatkan untuk pendapatan negara, dividen dan kemakmuran rakyat.

Meski begitu, Fitra akan mengajukan judicial review PP 72/2016 ini ke Mahkamah Agung (MA). Advokat Rakyat Indonesia Riesqi Rahmadiyansyah mengatakan, dirinya bersama dengan FITRA akan mengajukan gugatan tersebut paling cepat Senin pekan depan. "Karena memang tugas MA membatalkan suatu peraturan di bawah UU jika bertentangan dengan UU," ujarnya.

Riesqi menuding pemerintah mengakali kehidupan bernegara dengan mengangkangi fungsi dan wewenang lembaga perwakilan. Selain itu, kemudahan penjualan saham BUMN ini membuat BUMN akan bisa dimiliki swasta dan swasta asing secara mudah.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...