Ketegangan AS-Tiongkok Meningkat, Harga Minyak Tergelincir 1%
Harga minyak kembali tergelincir pada perdagangan Selasa (14/7), setelah kasus virus corona global mencatat rekor harian terbesar. Tak hanya itu, harga minyak tertekan imbas pertikaian Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok terkait persoalan Hong Kong.
Mengutip Bloomberg pada pukul 08.00 WIB, harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman September 2020 turun 1,47% menjadi US$ 42,09 per barel. Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Agustus 2020 turun 1,67% menjadi US$ 39,43 per barel.
World Health Organization atau WHO sebelumnya melaporkan rekor harian dengan 230.000 kasus baru virus corona pada Minggu (12/7). Adapun, sebagian besar penyebarannya berada di Amerika Serikat dan Amerika Latin.
(Baca: Harga Minyak Brent Turun hingga 2,17% Imbas Lonjakan Kasus Covid-19)
Di Amerika Serikat, infeksi melonjak selama akhir pekan setelah Florida melaporkan peningkatan lebih dari 15.000 kasus baru dalam 24 jam. Dengan lonjakan kasus, banyak negara bagian membatalkan pelonggaran operasi bisnis lantaran perlu banyak upaya memperlambat penyebaran virus yang telah menewaskan hampir 140 ribu orang di AS tersebut.
Sementara itu, kekehawatiran pasar kian meningkat karena ada ketegangan baru antara AS dengan Tiongkok, terlebih dengan keterlibatan Eropa. Uni Eropa (UE) mengatakan sedang mempersiapkan langkah-langkah balasan terhadap Tiongkok dalam menanggapi undang-undang keamanan baru Beijing di Hong Kong.
Tiongkok mengumumkan sanksi terhadap Amerika Serikat pada Senin (13/7) setelah Washington menghukum pejabat senior Tiongkok atas perlakuannya terhadap Muslim Uighur.
Sedangkan, Komite pengawas Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan bertemu hari ini dan Rabu dan diperkirakan akan merekomendasikan level untuk pengurangan pasokan di masa depan.
(Baca: Harga Minyak Stabil di Kisaran US$ 40 Meski Kasus Covid-19 Melonjak)
OPEC dan sekutunya termasuk Rusia diperkirakan akan mengurangi produksi menjadi 7,7 juta barel per hari (bph), turun dari rekor penurunan 9,7 juta bph untuk Mei hingga Juni mengingat lantaran permintaan minyak global telah pulih.
"Itu tampaknya pilihan yang cukup berisiko, dengan perpanjangan yang lebih aman satu bulan," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York seperti dikutip dari Reuters.