Kuliah Online Dinilai Lebih Fleksibel, tapi Terkendala Infrastruktur
Akademisi menilai, kuliah online lebih fleksibel ketimbang tatap muka. Namun, metode pembelajaran jarak jauh ini terkendala infrastruktur digital.
Ketua Program Studi Manajemen Universitas Surabaya (UBAYA) Deddy Marciano mengatakan, pandemi corona memaksa perguruan tinggi menerapkan perkuliahan secara online. Setelah dijalani, ia menilai metode belajar ini memiliki beberapa keunggulan.
Salah satunya, biaya untuk menggelar kuliah online relatif lebih murah ketimbang tatap muka. Selain itu, lebih fleksibel dari sisi waktu.
Materi yang diajarkan juga lebih personal. "Tapi infrastruktur tidak memadai," kata Deddy saat mengikuti Seminar Daring Business Leadership Series #4 yang digelar Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (8/8).
Infrastruktur yang dimaksud baik digital maupun perlengkapan pendukung perkuliahan secara online.
Berdasarkan data indeks internet inklusif (Inclusive Internet Index) dari Economist Intelligence Unit, cakupan pengguna Internet Indonesia sebenarnya cukup luas. Sektor rumah tangga pengguna internet Indonesia mencapai 66,2%.
Angka tersebut melebihi rata-rata negara di Asia yang mencapai 59,7%. Dari 267 juta penduduk Indonesia, 93%-nya sudah tercakup layanan 4G.
Namun, dengan cakupan internet yang begitu luas, kecepatan internet di Indonesia dianggap jauh dibawah rata-rata negara Asia. Rata-rata kecepatan unduhan seluler di Indonesia hanya 14,4 Kbps, di bawah rerata Asia 30,9 Kbps.
Rata-rata kecepatan mengunggah data di Indonesia pun 10,9 Kbps, juga di bahwa rerata Asia 12,9 Kbps.
Deddy bercerita, ada mahasiswa yang naik ke atap rumah saat mengikuti perkuliahan secara online. “Ini untuk mencari sinyal,” katanya.
Kendala lainnya, yakni beberapa kompetensi softskill dan technical skill sulit diajarkan. Selain itu, mahasiswa dituntut mempunyai kesadaran diri untuk belajar dan berkembang.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina Iin Mayasari menambahkan, perkuliahan online tetap harus memuat kurikulum berbasis sosial. Kampus juga dituntut untuk menciptakan konten pembelajaran yang menarik.
"Para instruktur (dosen) tetap harus dibekali pelatihan menyampaikan materi dengan baik," katanya.
Sebelumnya, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengajak para rektor untuk memfasilitasi mahasiswa agar bisa belajar kepada siapa pun. Yang dimaksud yakni pelaku industri, wirausahawan, praktisi pemerintahan, hukum, dan pelaku kerja lapangan lainnya.
Tujuannya, agar mahasiswa bisa menangkap perubahan industri yang dipicu oleh disrupsi dan hiperkompetisi. "Banyak karakter kerja tak bisa ditangkap hanya melalui membaca, tetapi harus melalui pengalaman nyata. Itulah pentingnya memerdekakan mahasiswa agar bisa belajar ke siapa saja," ujar Jokowi.