MPR Angkat Wacana Amendemen UUD 1945, Apakah Diperlukan Saat Ini?
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengusulkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) masuk dalam perubahan terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, pakar tata hukum negara menilai tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945.
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Aturan tersebut mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek (RPJP).
"Tidak ada urgensinya. Kalau fokus memasukan PPHN, tidak perlu," kata Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti kepada Katadata.co.id, Kamis (19/8).
Bila masih terdapat kritik terhadap pembangunan, kesalahan bukan terjadi pada aturan, melainkan pelaksanaan rencana. "Jadi salah sasaran kalau memperbaiki dengan PPHN karena yang dibutuhkan kepemimpinan dan pelaksanaan rencana," ujar dia.
Selain itu, ia menilai keberadaan PPHN yang sebelumnya dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan sekarang. Ini lantaran presiden saat ini dipilih oleh rakyat.
Berbeda dengan situasi zaman dulu, presiden dipilih oleh MPR. Maka dengan kondisi saat ini, PPHN tidak akan memberikan implikasi tata hukum negara dan MPR tak bisa menjatuhkan presiden apabila terdapat program yang tidak dijalankan.
"MPR tidak bisa berbuat apa-apa karena presiden bukan dipilih MPR. Kalau mau menjatuhkan presiden, harus melalui pemakzulan," ujar dia.
Selain itu, ia menilai keinginan MPR untuk memiliki kontrol terhadap presiden tidak sesuai dengan penyelenggaraan negara yang modern. Di sisi lain, Bivitri khawatir amandemen UUD 1945 akan ditunggangi kepentingan politik lain.
"Sangat mungkin Pasal 37 UUD 1945 menghasilkan agenda baru, bisa muncul keterkatian argumen satu pasal dan satu pasal lain," katanya.
Terlebih, MPR dan DPR memiliki kepentingan yang berbeda-beda. DPR memiliki keinginan untuk memperkuat DPD, sementara MPR ingin memperkuat posisi lembaganya.
Untuk itu, amendemen UUD 1945 perlu dicegah sejak awal agar tak menjadi bola liar, termasuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. "Jangan sampai jadi agenda karena pasti bisa lolos, seperti UU Cipta Kerja dan UU KPK," ujar dia.
Berbeda dengan Bivitri, Pakar Hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai PPHN perlu dimasukkan dalam amendemen UUD 1945. "Ini supaya presiden itu bisa menjalankan kesinambungan dalam kepemimpinan berikutnya, sehingga ada keberlanjutan visi misi," kata Suparji.
Ia lalu membandingkan RI ketika masih menggunakan GBHN, saat itu visi dan misi sempat terjaga dengan baik saat ada GBHN. Sementara, presiden saat ini memiliki visi dan misi dengan fokus yang berbeda.
"Misalnya di masa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), tidak terlihat konteks infrastruktur. Sedangkan Jokowi ada kecenderungan infrastruktur," katanya.
Meski begitu, ia berharap amandemen UUD 1945 tidak melebar ke agenda lain. Presiden tetap perlu dipilih langsung oleh rakyat serta fokus menjalankan PPHN.
Untuk itu, amendemen UUD 1945 perlu diawasi oleh tim ahli ketatanegaraan yang diisi oleh pakar independen. "Termasuk penyusun UUD dulu, seperti Amin Rais, Hamdan Zoelfa, dan lainnya," ujarnya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo menjelaskan perubahan UUD dilakukan untuk mewadahi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan yang lebih baik. Bambang menjamin tidak ada perubahan berlebihan karena adanya persyaratan dan mekanisme yang ketat seperti diatur dalam pasal 37 UUD 1945.
Untuk itu, perubahan UUD hanya bisa dilakukan terhadap pasal yang disulkan untuk diubah disertai dengan alasannya. "Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bambang dalam Sidang Tahunan Bersama MPR, DPR, dan DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (16/8).