Masa Jabatan Presiden Mau Diubah, Jokowi Tolak Amendemen UUD 1945

Dimas Jarot Bayu
2 Desember 2019, 15:16
ilustrasi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Presiden dengan tegas menolak amendemen UUD 1945 karena ada wacana perubahan mekanisme pemilihan dan masa jabatan Presiden.
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
ilustrasi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Presiden dengan tegas menolak amendemen UUD 1945 karena ada wacana perubahan mekanisme pemilihan dan masa jabatan Presiden.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menilai tak perlu ada amendemen UUD 1945. Pasalnya, muncul wacana pemilihan Presiden oleh MPR dan perubahan masa jabatan Kepala Negara hingga tiga periode. 

Salah satu yang menyampaikan wacana tersebut yaitu Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. “Apakah tidak melebar ke mana-mana? Sekarang kenyataannya seperti itu kan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12).

Padahal dirinya merupakan produk dari Pemilihan Umum (Pemilu) secara langsung. Selain itu, sejak awal dia ingin amendemen UUD 1945 hanya terbatas pada perubahan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). 

Jokowi pun dengan tegas menolak amendemen UUD 1945. “Lebih baik tidak usah amendemen,” kata Jokowi.

(Baca: Wacana Amendemen UUD 1945 Dinilai Mengancam Ideologi Bangsa)

Kepala Negara memprediksi ada tiga maksud dari pihak-pihak yang melemparkan wacana masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Pertama, pihak tersebut bermaksud menampar mukanya.

Kedua, pihak tersebut ingin mencari muka di depan Jokowi. “Yang ketiga, ingin menjerumuskan,” kata Jokowi.

Lebih lanjut dia menilai Indonesia sebaiknya fokus saja dalam mengatasi tekanan eksternal. “Bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan,” kata dia.

(Baca: Ketua MPR Sebut Amendemen UUD Tak Ubah Mekanisme Pemilihan Presiden)

Sebelumnya, sejumlah pengamat politik menolak amendemen UUD 1945. Ketua Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai berbagai isu yang dibawa terkait rencana perubahan aturan tersebut cukup problematik dan tak akan meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

"Beberapa isu amendemen itu seperti menggaruk bagian yang tak gatal. Yang sakit apa, obatnya yang lain," kata Veri di Jakarta, Selasa (8/10).

Salah satu isu amendemen UUD 1945 yang dipersoalkan Veri adalah dihidupkannya kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Melalui amandemen tersebut, MPR juga memiliki wewenang untuk menentukan GBHN yang harus dijalankan Kepala Negara.

Dengan demikian, MPR bakal menjadi lembaga negara tertinggi di Indonesia. Sementara Kepala Negara hanya akan menjadi mandataris MPR.

Menurut Veri, isu amendemen akan memunculkan masalah baru karena MPR tak mungkin memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan presiden. Sebab, presiden saat ini dipilih secara langsung oleh rakyat, sementara MPR tidak demikian.

"Secara ketatanegaraan enggak mungkin itu dilakukan," kata Veri.

(Baca: Konsultasi Pelantikan Presiden, 10 Pimpinan MPR Temui Jokowi di Istana)

Very pun menilai wacana menghidupkan GBHN sudah tak relevan saat ini. Pasalnya, Indonesia telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Justru, wacana menghidupkan GBHN dapat mengacaukan sistem yang sudah berjalan sekarang. "Kita sudah memiliki GBHN dengan nama dan format yang baru, yang berbeda dengan sistem yang lama," ucap Veri.

Isu lain dalam amendemen UUD 1945 yang dipersoalkan Very yaitu perihal presiden yang bisa menjabat lebih dari satu kali dengan syarat tidak boleh berturut-turut. Usulan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR Johny G Plate.

Jika amendemen terlaksana, maka Jokowi bisa menjabat Presiden lebih dari dua kali selama diberi jeda memimpin. Veri menganggap isu dalam amendemen itu menafikkan berbagai persoalan yang muncul ketika Orde Baru.

"Kita seperti kacang lupa kulitnya. Kenapa kita harus kembali ke situ?" kata Veri.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah menambahkan, isu lain yang menjadi masalah dalam rencana amendemen UUD 1945 adalah pemilihan Presiden dilakukan oleh MPR. Menurut Maryati, isu tersebut dapat membawa Indonesia mundur dari semangat reformasi.

Maryati menilai amendemen UUD 1945 seharusnya dilakukan terhadap hal-hal yang lebih substansial. Salah satunya dengan memperkuat fungsi dan kewenangan DPD. "Kalau amendemen agar Presiden dipilih oleh MPR, maka reformasi dikorupsi. kita akan set-back dari reformasi Indonesia," kata Maryati.

(Baca: Kepada Jokowi, Zulkifli Hasan Jelaskan Amendemen Dilakukan Terbatas)

Reporter: Dimas Jarot Bayu

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...