Riset KIC-Nafas: PPKM Tak Signifikan Turunkan Polusi Udara di Jakarta
Berkurangnya mobilitas masyarakat dan jumlah kendaraan di jalan raya imbas penerapan kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ternyata tidak berpengaruh signifikan dalam memperbaiki kualitas udara dan mengurangi polusi udara di Jakarta.
Menurut hasil riset Nafas, bekerja sama dengan Katadata Insight Center (KIC) dan Komunitas Bicara Udara menunjukkan bahwa kualitas udara di Jakarta pada saat penerapan PPKM relatif sama terutama pada kadar partikel polusi PM2.5 (partikulat matter).
“Dengan adanya PPKM hampir tidak ada kendaraan di Jakarta. Tapi turunnya jumlah kendaraan tidak memperbaiki polusi Pm2.5 di Jabodetabek,” kata Data Analyst/Scientist Nafas, Prabu Setyaji pada pemaparan “NAFAS Air Quality Report 2021: Bagaimana Kualitas Udara tahun 2021?” secara daring, Rabu (2/3).
Dia menambahkan, bisa dikaatakan bahwa PPKM di Jakarta dan sekitarnya berdampak jauh dari ekspektasi yang diharapkan. Hal ini lantara kegiatan yang bersifat antropogenik tetap berjalan di skala perumahan walaupun mobilitas berkurang sangat signifikan.
Padahal emisi kendaraan bermotor disebut berkontribusi hingga 70% terhadap emisi nitrogen oksida (Nox), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), dan partikulat (PM) di wilayah perkotaan.
Namun faktanya, menurut data Nafas, turunnya jumlah kendaraan pada masa PPKM malah meningkatkan polusi PM2.5 hingga sebesar 12%. Bahkan di beberapa wilayah naik lebih dari itu, seperti di Kelapa Gading naik 21%, Kuningan 17%, Bekasi Selatan 24%, Bogor Barat 33%.
Sementara itu PM2.5 karena ukurannya yang sangat kecil tidak dapat difiltrasi melalui tanaman atau kawasan hijau. Namun peran dari musim berdampak signifikan terhadap perubahan kualitas udara.
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa tingkat PM2.5 turun signifikan ketika memasuki musim penghujan, sebaliknya meningkat ketika memasuki musim kemarau. Penurunan polusi semakin besar ketika terjadi hujan yang disertai dengan angin.
Penurunan polusi oleh hujan mencapai 8,71%, sedangkan oleh angin bisa mencapai 66%. Sehingga jika terjadi hujan angin maka penurunan PM2.5 akan semakin besar.
“Tren naik turun ini terjadi di dua pergantian musim silam. Berarti kita bisa berasumsi sebentar lagi akan memasuki tren kualitas udara buruk karena akan memasuki musim kemarau,” tulis laporan Nafas.
Fakta lainnya yaitu polusi PM2.5 lebih tinggi di pagi hari. Sehingga masyarakat diimbau untuk lebih dulu mengecek kualitas udara sebelum berolahraga di pagi hari, karena ada asumsi bahwa kualitas udara paling bagus di pagi hari.
Menurut data Nafas, polusi PM2.5 paling tinggi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) paling tinggi pada pukul 12 dini hari hingga pukul 9 pagi. Kualitas udara membaik mulai pukul 10 pagi hingga puncaknya pukul 14 siang.
Setelah itu kualitas udara perlahan memburuk hingga ke level terburuk pada pukul 8 malam yang berlanjut hingga pagi hari berikutnya.