Empat Isu yang Bikin Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Jadi Sensitif

Image title
10 Mei 2022, 20:33
Empat Isu yang Bikin Penunjukkan Penjabat Kepala Daerah Jadi Sensitif
ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj.
Petugas merapikan masker yang dipasang pada diorama suasana pemungutan suara di TPS saat Pemilu di Kantor KPU Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/4/2022). KPU Jawa Barat memasang masker pada diorama tersebut sebagai edukasi dan sosialisasi dalam pelaksanaan pemilu mendatang apabila di Indonesia masih berada pada status pandemi COVID-19.

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memerintahkan agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan serentak November 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan menunjuk seorang penjabat. 

Imbasnya, total ada 272 kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum pelaksanaan Pilkada serentak. Mereka terdiri dari 101 kepala daerah pada tahun ini, dan 171 kepala daerah pada 2023. 

Kemendagri saat ini tengah menyeleksi para calon secara tertutup. Untuk jabatan gubernur, Kemendagri akan menyerahkan tiga nama calon untuk dipilih salah satunya oleh presiden. Sementara untuk bupati dan wali kota, Kemendagri akan memilih dari nama calon yang diusulkan gubernur. 

Menyangkut proses seleksi yang tertutup, menurut anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Zulfikar Arse Sadikin, sudah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. “Selama ini memakai aturan yang lama, tidak jadi soal,” katanya saat dihubungi Katadata.co.id pada Selasa (10/5).

Zulfikar justru menyoroti empat persoalan yang membuat proses penunjukkan penjabat kepala daerah menjadi sensitif. Hal ini menyangkut jumlah penjabat kepala daerah yang banyak. Kemudian durasi penjabat yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, hadirnya penunjukkan penjabat kepala daerah di tengah momen pemilu 2024, serta mengenai kedudukan dan wewenang penjabat ketika memimipin. 

Soal kedudukan dan wewenang penjabat nanti, Zulfikar menilai perlu ada kesamaan di antara kepala daerah yang dipilih melalui pilkada maupun penjabat yang dipilih Kemendagri. Terutama jika melihat kepada aturan hukum saat ini, tidak ada regulasi spesifik untuk wewenang dan kedudukan penjabat kepala daerah.

“Dia bisa datang ke DPRD, dia bisa tanda tangan, dia bisa mutasi, promosi, yang penting ada izin dari atasan,” ujarnya.

Meski demikian, untuk menghindari polemik di kemudian hari, menurutnya perlu dibuat peraturan pemerintah yang khusus mengatur penjabat kepala daerah. Di dalamnya, dapat diatur mengenai proses, kedudukan, kewenangan, dan evaluasi, sehingga legalitas dan legitimasi penjabat kepala daerah semakin kuat.

Sebab kedudukan penjabat kepala daerah akan berbeda dengan Pelaksana Tugas (Plt), Pejabat Sementara (Pjs), atau Pelaksana Harian (Plh). “Kalau plt, pjs, dan plh itu kan berhalangan sementara atau berhalangan tetap dalam rentang waktu periodisasi yang menjabat. Tapi kalau penjabat ini hadir karena yang menjabat periodisasinya sudah habis,” terangnya.

Sebagai anggota Komisi II yang bermitra kerja dengan Kemendagri, Zulfikar sebelumnya sudah mengusulkan perlunya pembentukan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur secara khusus mengenai penjabat kepala daerah. 

Jika PP khusus tentang penjabat kepala daerah sudah dibuat, selanjutnya dia menyerahkan kepada pemerintah terkait sifat penunjukkannya yang tertutup, semi tebuka, maupun terbuka.

“Walaupun ini urusan pemerintah, kalau ada suara yang meminta terbuka itu kan karena empat hal tadi: karena banyak (penjabatnya), karena durasinya panjang, karena terkait dengan pemilu 2024, dan karena ini ada debatable soal kedudukan dan kewenangan mereka,” jelas Zulfikar.

Simak juga partisipasi pemilih dalam Pilpres dan Pilkada di Indonesia

Reporter: Ashri Fadilla

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...