Fenomena Vote Buying Membayangi Pemilu di Indonesia

Image title
24 Juni 2022, 11:54
Warga menandatangani petisi harapan masyarakat pada sosialisasi tahapan Pemilu 2024 di Taman Sultan Hasanuddin, Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (19/6/2022).
ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/foc.
Warga menandatangani petisi harapan masyarakat pada sosialisasi tahapan Pemilu 2024 di Taman Sultan Hasanuddin, Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (19/6/2022).

Maraknya fenomena vote buying atau pembelian suara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, mendapatkan perhatian dari Peneliti Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), Ward Berenschot. Berdasarkan data yang diperolehnya, vote buying di Indonesia berada pada urutan tertinggi ketiga di dunia.

“Tingkat korupsi terjadi begitu tinggi di Indonesia. Salah satu bukti adalah adanya ‘serangan fajar’ pada Pemilu sudah sangat umum terjadi,” kata Berenschot dalam diskusi bertajuk “Pemilu 2024, Pertaruhan Demokrasi di Indonesia” Kamis (23/6).

Berenschot khawatir, tingginya praktik vote buying pada akhirnya akan berdampak negatif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa penyebab dari fenomena vote buying di Indonesia, yaitu maraknya oknum dalam kegiatan Pemilu, budaya personal yang buruk, serta sistem buruk. Kondisi ini semakin membuka peluang untuk melakukan praktik tersebut.

Dia menjelaskan, salah satu faktor pemicu yang membuat praktik ini langgeng, adalah besarnya anggaran untuk kegiatan kampanye dalam kontestasi demokrasi. Hal ini pada akhirnya mendorong para peserta melakukan segala cara untuk menang, termasuk memberikan ‘serangan fajar’, sehingga membuat modal politik menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Imbasnya, setelah memenangkan Pemilu, para pemimpin cenderung terdorong untuk menerbitkan beragam aturan yang condong kepada pihak-pihak pendukungnya selama kampanye.

“Utang budi dalam relasi sosial menjadi lebih penting ketimbang menegakkan institusi negara dan peraturan,” ujar Berenschot.

Sementara dari pihak pemilih, Berenschot menjelaskan bahwa mereka cenderung memilih untuk bersikap menerima tawaran yang dijanjikan para peserta Pemilu selama masa kampanye.

“Pemilih memilih insentif berperilaku klientalistik dan meminta serangan fajar,” ungkapnya.

Halaman:
Reporter: Ashri Fadilla
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...