Ombudsman: Panpel, PT LIB dan Polisi Abai Cegah Kerusuhan di Malang
Ombudsman Jawa Timur menilai panitia pertandingan, PT Liga Indonesia Baru (LIB), dan kepolisian mengabaikan mitigasi kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Kericuhan yang terjadi setelah peluit panjang tanda berhentinya pertandingan antara Arema FC dengan Persebaya Surabaya ini, mengakibatkan ratusan korban tewas.
Kepolisian mencatat jumlah korban meninggal dunia akibat tragedi ini mencapai 127 orang per Minggu pagi (2/10). Kementerian Kesehatan menyatakan jumlahnya mencapai 129 orang, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemerintah Kabupaten Malang, menyebut jumlahnya telah mencapai 174 korban tewas.
Berdasarkan temuan investigasi sementara Ombudsman Jawa Timur, terungkap bahwa terdapat mitigasi pencegahan kerusuhan yang tidak dijalankan, baik oleh panpel, PT LIB, dan kepolisian.
Temuan itu mengarah pada potensi maladministrasi sesuai Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
"Itu temuan awal dari dokumen. Hasil finalnya masih nunggu hasil investigasi yang kami lakukan mulai besok," ujar Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Timur, Agus Muttaqin, melalui pesan singkat, Minggu (2/10).
Panpel Salah Prosedur
Hasil temuan sementara ini menilai panpel menyalahi prosedur dengan menolak permohonan kepolisian untuk membatasi jumlah tiket penonton.
"Membatasi pencetakan tiket menjadi 38.054 tiket dari total kapasitas stadion 42.500 penonton," ucap Agus dalam siaran pers Ombudsman Jawa Timur, Minggu (2/10).
Saran polisi itu merujuk pada pasal 48 Regulasi Keselamatan dan Keamanan (RKK) PSSI, yang mewajibkan pansel berkonsultasi dengan kepolisian terkait jumlah penonton.
Padahal, PSSI sudah mewajibkan setiap stadion maksimal berisi 75 persen dari total kapasitas. Aturan ini dilakukan mengikuti prosedur kesehatan dengan anggapan Satgas Covid-19, bahwa Indonesia belum aman dari pandemi.
Selain itu, panpel juga tidak memberikan layanan kedaruratan sesuai pasal 47 RKK. "dengan mengabaikan kewajiban penyediaan sarana evakuasi meliputi sistem peringatan bahaya, pintu keluar darurat, jalur evakuasi, dan tangga darurat/kebakaran, apabila terjadi keadaan darurat," ucapnya.
Berdasarkan dokumen yang ditemukan Ombudsman Jawa Timur, informasi jalur evakuasi dan titik kumpul juga tidak terinformasikan secara baik kepada penonton.
"Itu tergambar dari banyaknya korban yang terinjak-injak dan kekurangan oksigen. Korban berebut menuju pintu keluar ketika tidak tahan dengan semprotan gas air mata polisi," jelas Agus.
Panpel juga diduga mengabaikan identitas penonton dalam penjualan tiket. Hal ini diketahui setelah petugas medis kesulitan mengidentifikasi 25 jenazah korban kerusuhan hingga Minggu sore (2/10), karena korban tidak membawa identitas.
Ombudsman juga menduga korban membeli tiket melalui jasa pihak ketiga atau calo, tetapi petugas mengabaikan kartu identitas calon penonton.
PT LIB Kurang Antisipasi
Ombudsman Jawa Timur juga menemukan PT LIB tidak mengantisipasi potensi kerusuhan dengan mengabaikan saran kepolisian untuk memajukan jadwal pertandingan dari jam 20.00 WIB, menjadi 15.30 WIB.
Padahal, pertandingan dengan rivalitas yang menyaingi pertandingan ini juga terjadi pada hari yang sama, yaitu antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung. Jadwal tersebut mengalami perubahan dari malam menjadi sore hari.
"Tidak diketahui alasan penolakan tersebut. Bisa jadi karena terkait jadwal hak siar dan rating televisi," jelas Agus.
Kemudian, PT LIB kurang memperhitungkan secara matang risiko dampak dari pertandingan dengan tensi tinggi ini, dengan tetap menggelarnya di Pulau Jawa.
Polisi Tak Ikuti Standar FIFA
Sementara untuk kepolisian, Ombudsman Jawa Timur menilai kepolisian telah menyalahi ketentuan dan standar organisasi sepak bola dunia, FIFA.
Hal ini menyangkut penggunaan gas air mata di dalam stadion. Berdasarkan ketentuan pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security, disebutkan pelarangan penggunaan gas air mata dan senjata api untuk dibawa masuk ke dalam stadion.
Meski begitu, jika mengacu kepada Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, polisi bisa menggunakan semprotan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Hanya saja, tidak tepat digunakan di dalam stadion tertutup dengan akses pintu keluar yang terbatas.
Satu persoalan lain yang dinilai Ombudsman mempengaruhi situasi, adalah penggunaan kendaraan taktis atau truk polisi yang berasal dari Polrestabes Surabaya untuk mengangkut ofisial dan pemain Persebaya menuju stadion.
"Polisi juga kurang mengantisipasi potensi kericuhan dengan memunculkan simbol “Surabaya” di sekitar stadion," ucapnya.
Terhadap temuan sementara ini, Ombudsman bakal melakukan investigasi atas prakarsa sendiri sesuai pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.
Ombudsman akan mengumpulkan data lebih lanjut di lokasi kejadian atau pemeriksaam dokumen. Hasilnya akan menjadi tindakan korektif kepada para pemangku kepentingan dalam penyelenggaran pertandingan atau kompetisi sepak bola.