CISDI: Donasi Dana Pandemi Perlu Berlanjut Meski KTT G20 Berakhir
Negara-negara anggota G20 bersama lembaga filantropi global menghimpun Dana Pandemi sebesar lebih dari US$ 1,4 miliar atau Rp 21,7 triliun. Adapun Indonesia berkomitmen untuk menyumbang dana sebesar US$ 50 juta atau Rp 775 miliar.
Langkah Indonesia untuk menjadi donatur Dana Pandemi dinilai positif oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Meski demikian, organisasi nonprofit sektor kesehatan tersebut berharap aksi yang dilakukan banyak negara terus berlanjut atau tidak berhenti seiring berakhirnya kepemimpinan Indonesia di G20.
Direktur Utama CISDI, Diah Satyani Saminarsih, mengatakan masih banyak pekerjaan rumah bersama yang harus dilanjutkan, disempurnakan, dan diselesaikan oleh negara anggota G20 untuk menjamin ketahanan kesehatan global, khususnya bagi upaya pencegahan pandemi di masa depan.
Diah mengatakan sumber pendanaan yang mayoritas diperoleh dari negara-negara kaya harus diimplementasikan atau dikelola sesuai kebutuhan masing-masing penerima. Peran publik dan masyarakat sipil dinilai penting dan sangat dibutuhkan untuk memastikan pengawasan terhadap penggunaan Dana Pandemi.
Saat ini pendanaan Dana Pandemi masih bergantung pada kontributor lama. "Hal ini mengakibatkan dana baru yang terkumpul sebesar USD 1,4 Miliar atau hanya 10% dari keseluruhan target yang dicanangkan dalam pandemic fund, sesuai perhitungan World Bank dan WHO," kata Diah dalam diskusi panel bertajuk Communicating Global Health: Time for New Approaches di Hotel Conrad, Bali pada Senin (14/11).
Adapun, yang menjadi negara donor antara lain: Australia, Canada, Komisi Eropa, Perancis, Jerman, China, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea, Selandia Baru, Norwegia, Afrika Selatan, Singapura, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan UEA. Selanjutnya tiga filantropi, yaitu The BIll & Melinda Gates Foundation, The Rockefeller Foundation, dan Wellcome Trust.
Diah pun menyoroti anggota pihak-pihak yang teribat dalam dana pandemi harus berkomitmen menjalin kerja sama jangka panjang dan berkelanjutan. Alasannya, tidak semua kontributor menandatangani kerja sama jangka panjang, baik dalam siklus kontribusi tiga maupun lima tahunan sehingga keberlanjutan pendanaan ini dipertanyakan.
"Indonesia berkomitmen menyumbang setidaknya US$ 50 juta dalam Pandemic Fund melalui sumber pembiayaan APBN. Oleh karenanya perlu pelibatan masyarakat sipil untuk mengawal bagaimana kontribusi ini akan diterjemahkan kedepannya," ujar Diah.
Dana Pandemi pada awalnya dikenal dengan “the Financial Intermediary Fund for Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (FIF-PPR)”. Pendanaan ini resmi diluncurkan oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), dalam rangkaian KTT G20 Presidensi Indonesia di Bali.
Berdasarkan hasil studi Bank Dunia dan Organisasi Kesehatan Dunia dibutuhkan pembiayaan sebesar US$ 31,1 milliar untuk menghadapi pandemi. Selama pembahasan G20 dikumpulkan US$ 1,4 miliar dari 24 donor.
Selain kontribusi dana, Presiden Jokowi juga mengajak semua pihak untuk mendukung beberapa inisiatif yang ada terkait kesehatan global seperti pembentukan platform koordinasi penanggulangan darurat kesehatan. “Pembentukan Dana Pandemi dan komitmen awal kontribusi ini merupakan sebuah langkah awal yang baik. Namun demikian, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan dana ini mencapai tujuan yang dicita-citakan,” kata Presiden Jokowi.
Menteri Keuangan menyampaikan bahwa Dana Pandemi bisa menjadi sumber dana jangka panjang bagi penanggulangan pandemi. “Dana Pandemi akan memainkan peran kunci dalam menjembatani kerja sama di antara anggota G20 baik negara maju maupun berkembang, anggota non-G20, dan pemangku kepentingan, termasuk filantropi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil,” kata Menteri Sri Mulyani dalam pidatonya.
Dana Pandemi ini akan dikelola bersama oleh para kontributor dan perwakilan penerima, dan mitra lainnya dengan menggunakan mekanisme pengelolaan Bank Dunia atau disebut sebagai Wali Amanat (Trustee).
Dewan Pengelola (Governing Board) dipimpin oleh co-chairs, Chatib Basri dari Indonesia dan Daniel Ngajime, Menteri Kesehatan Rwanda. Sementara untuk panduan teknis pelaksanaan termasuk kesekretariatan akan melibatkan WHO.