Dokter Spesialis di Daerah akan Ditambah Meski Tak Ada Laporan Kurang

Andi M. Arief
14 Desember 2022, 20:47
dokter spesialis, kemenkes, jumlah dokter spesialis,
ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/YU
Dokter memeriksa pasien penyakit Tuberkulosis (TBC) di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/11/2022).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia kekurangan ribuan dokter spesialis. Meski begitu, Budi menyebut belum ada pemerintah daerah yang melaporkan kekurangan dokter spesialis di daerahnya.

Namun hal tersebut tidak menghalangi langkah pemerintah untuk tetap menambah jumlah dokter spesialis dan mendistribusikannya ke seluruh daerah di Indonesia secara lebih merata.

"Rumah sakit daerah itu kan minimal punya tujuh jenis dokter spesialis, yang kurangnya ribuan. Kami sebaiknya aktif mencari dokter spesialis," kata Budi di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Rabu (14/12).

Ikatan Dokter Indonesia atau IDI menyatakan distribusi dokter spesialis harus dimasukkan dalam strategi produksi dokter spesialis nasional. Sementara itu, data persebaran hanya menjadi salah satu faktor dalam menghitung kebutuhan dokter spesialis oleh Kementerian Kesehatan atau Kemenkes.

Berdasarkan data IDI, jumlah puskesmas yang beroperasi tanpa dokter pada 2020 mencapai 6,9% dari total puskesmas di dalam negeri. Sementara itu, total rumah sakit umum daerah atau RSUD yang belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis mencapai 296 unit atau 41,58% dari total RSUD.

Ketujuh jenis dokter spesialis yang dimaksud adalah dokter spesialis anak, obstetri dan ginekologi, penyakit dalam, saraf atau neurologis, anestesi, radiologi, dan patologi klinik. Sebanyak 378 RSUD telah memiliki seluruh jenis dokter spesialis tersebut.

Provinsi dengan rumah sakit terbanyak yang telah memiliki semua jenis dokter spesialis adalah Jawa Tengah yang mencapai 47 RSUD. Sementara itu, provinsi dengan RSUD terbanyak yang belum memiliki semua jenis dokter spesialis adalah Sumatra Selatan yakni sebanyak 17 unit.

Sebelumnya, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia Setyo Widi Nugroho mencatat jumlah puskesmas yang tidak memiliki dokter pada 2015-2016 adalah 12% dari total puskesmas. Angka tersebut naik menjadi 40% pada 2019, tapi Widi tidak menemukan pemerintah daerah yang menyatakan membutuhkan tambahan dokter saat itu.

Oleh karena itu, Widi menilai Kemenkes tidak bisa menyatakan angka kebutuhan dokter spesialis secara nasional. Menurutnya, kebutuhan dokter spesialis harus berdasarkan data sebara di daerah yang diolah oleh pemerintah daerah.

Widi menilai hal tersebut penting agar akselerasi produksi dokter spesialis yang mulai dilakukan saat ini berhasil disebar ke daerah. Tanpa ada data kebutuhan tersebut, Widi menilai dokter spesialis nantinya tetap akan berpusat di kota-kota besar.

Oleh karena itu, Ketua Umum Pengurus Besar IDI Moh. Adib Kumaidi mengatakan interkoneksi data antara IDI dan pemerintah daerah dapat menunjukkan sebaran dokter spesialis di setiap daerah. Dengan demikian, IDI dapat mendistribusikan dokter spesialis dari daerah yang berlebih ke daerah yang kekurangan.

Sebagai informasi, dokter spesialis harus meminta rekomendasi kepada IDI untuk mendapatkan surat tanda registrasi atau STR dari KKI. Adib menjelaskan interkoneksi data antara IDI dan KKI telah dilakukan.

Setelah mendapatkan STR, dokter spesialis akan mengajukan Surat Izin Praktek atau SIP kepada Dinas Kesehatan tingkat kabupaten/kota. Adib menyampaikan interkoneksi data dengan pemerintah daerah belum dilakukan.

"Itu bisa menjawab masalah distribusi. Saat terkoneksi, kami bisa menghitung kebutuhan dokter spesialis di setiap daerah," kata Adib dalam konferensi pers, Selasa (13/12).

Adib mengatakan saat ini dokter spesialis masih terpusat di DKI Jakarta. Sebagai contoh, dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Jakarta hampir mencapai 1.000 orang dari total sekitar 4.700 orang.

Menurut dia, setidaknya ada enam faktor yang membuat dokter spesialis saat ini enggan bekerja di luar Ibu Kota. Keterlibatan pemerintah daerah dalam menangani keenam faktor tersebut dinilai menjadi kunci.

Adapun, keenam faktor yang dimaksud Adib adalah:

  1. Sarana dan prasarana terbatas.
    Keterbatasan infrastruktur dasar dan fasilitas pendukung di wilayah kerja. Beberapa infrastruktur yang dimaksud adalah perlengkapan di ruang bedah.
  2. Keterbatasan alat kesehatan dan obat.
    Kemampuan RSUD di luar Ibu Kota masih minim dalam menyediakan kebutuhan dokter spesialis. Contohnya, masih minimnya kekuatan RSUD untuk menyediakan alat cuci darah bagi pasien gangguan ginjal.
  3. Tidak bertahan jangka panjang.
    Pemerintah daerah cenderung tidak memberikan kepastian kepada dokter spesialis yang bekerja di daerah. Selain itu, insentif yang diberikan pemerintah daerah umumnya tidak cukup kuat untuk menahan dokter spesialis menetap di daerah.
  4. Kerja sama pemerintah pusat dan daerah.
    Pemerintah dinilai harus bekerja sama dalam menyusun kebijakan inovatif yang meningkatkan pemerataan distribusi dokter spesialis di dalam negeri.
  5. Fasilitas dan lapangan kerja.
    Dokter spesialis umumnya telah berkeluarga. Oleh karena itu, kesempatan kerja bagi pasangan dokter spesialis di daerah menjadi pertimbangan dokter spesialis.
  6. Insentif dan jenjang karir.
    Jenjang karir di RSUD selain DKI Jakarta tidak memiliki kepastian. Selain itu, insentif di daerah cenderung lebih rendah.

Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...