Ketika Pengesahan KUHP Dikaitkan dengan Upaya Tunda Pemilu 2024
Isu penundaan Pemilu 2024 kembali muncul ke permukaan, setelah sebuah cuplikan video pernyataan Anggota Komisi III Benny K. Harman beredar di media sosial.
Percakapan dalam video tersebut sejatinya terjadi di dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly pada Selasa (13/12) lalu.
Saat itu, Benny mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepada Yasonna, mengenai kinerja Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu pertanyaan yang disampaikan Benny adalah isu mengenai percepatan pengesahan naskah revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikaitkan dengan penundaan Pemilu 2024.
Isu tersebut, menurut Benny, ia dapatkan setelah berbicara dengan rekannya sesama Anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Sudding.
Ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, menurut Benny potensi untuk kembali menggulirkan wacana penundaan Pemilu 2024 setelah KUHP sah dan mulai berlaku tahun depan, sudah terang benderang.
Akan tetapi mengenai indikasi pelaksanaannya akan tergantung kepada keinginan pihak-pihak yang berkuasa. "Soal hasrat tanya ke mereka," jelasnya melalui pesan singkat kepada Katadata.co.id, Sabtu (17/12).
Sebelumnya, dalam raker dengan Menkumham, Benny menyinggung adanya wacana untuk menerbitkan dekrit penundaan Pemilu, dan KUHP akan menjadi dasar hukum untuk membungkam kritik publik. "Dan yang protes itu akan ditangkap semuanya," ujar Benny dalam raker.
Benny sengaja meminta penjelasan langsung kepada Yasonna, karena sebagai menteri ia merupakan salah satu pihak yang berada di dalam lingkaran pemerintah. Apabila wacana tersebut benar-benar ada, Benny berharap dapat mengkoreksinya dengan jalan demokratis.
"Ini salah satu prinsip keterbukaan, daripada omong di belakang, langsung tanya di depan," ujarnya.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Yasonna menjelaskan bahwa kepentingan untuk mengesahkan KUHP bukan hanya pada pemerintah, tetapi juga parlemen. "Ini kerja kita bersama," jelasnya.
Jika tidak disahkan, maka pilihannya adalah Indonesia tetap menggunakan KUHP yang masih berlaku saat ini. Beleid tersebut merupakan warisan kolonial Belanda.
Selain itu, Yasonna juga membantah bahwa ada upaya untuk mempercepat pengesahannya saat ini. Sebab pembahasan naskah revisi KUHP sudah berjalan sejak 2012, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih memimpin. "Pembahasan KUHP tidak ujug-ujug," ucapnya.
Meski begitu, ia mengakui, publik masih banyak yang belum memahami keseluruhan esensi dari KUHP, sehingga sudah menjadi tugasnya untuk menggelar sosialisasi dan meningkatkan pemahaman publik. "Benar bahwa masih banyak mispersepsi, kurang baca, dipelintir. Tugas kita untuk sosialisasi," jelas Yasonna.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, terdapat 17,6% responden yang menolak pengesahan KUHP. Di antara responden yang tidak setuju ini, 70,7% menganggap KUHP masih memuat pasal yang "mengganjal" atau bermasalah.
Terkait wacana penundaan Pemilu 2024, isu ini telah beberapa kali mencuat ke publik. Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan telah berulang kali mengungkapkan penolakannya terhadap ide tersebut.
Sementara itu, Anggota DPR RI Luqman Hakim menilai spekulasi publik terkait dengan wacana penundaan Pemilu menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Hal ini juga akan mencederai harkat dan martabak, serta nama baik Presiden Jokowi.
"Kewajiban negara menyelenggarakan pemilu tidak boleh dihambat, dihalang-halangi atau digagalkan oleh siapapun dan atas nama kepentingan apapun. Siapa pun yang berusaha menghambat, menghalang-halangi dan menggagalkan pemilu adalah musuh rakyat," katanya seperti dikutip Antara (12/12).