Sanggah Sri Mulyani, Mahfud: Transaksi Janggal PNS Kemenkeu Rp 35 T
Kasus transaksi mencurigakan yang dituding melibatkan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih terus bergulir. Kini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim jumlah transaksi janggal pegawai Kemenkeu jauh lebih besar dari nilai yang diungkap oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
"Kemarin, Menkeu Sri Mulyani di Komisi XI DPR sebut hanya Rp 3,3 triliun, yang benar Rp 35,5 triliun," kata Mahfud dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (29/3).
Menurut dia, transaksi mencurigakan senilai Rp 35,5 triliun itu bagian dari nilai total transaksi mencurigakan Rp 349,8 triliun yang sebelumnya sempat ia singgung. Jumlah oknum ASN Kemenkeu yang terlibat dalam transaksi itu sebanyak 461 orang, sementara ASN kementerian lain 11 orang dan non-ASN sebanyak 294 entitas.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan, transaksi mencurigakan Rp 35,5 triliun tersebut tak hanya transkasi oknum pribadi, tetapi juga perusahaan yang diduga terafiliasi oknum pegawai. Ia mencontohkan, dalam beberapa surat yang dilaporkan ke Kemenkeu, ditemukan ada satu oknum yang memiliki afiliasi dengan lima hingga delapan perusahaan.
Akumulasi transaksi Rp 35,5 triliun itu termasuk transaksi dari perusahaan cangkang. Menurutnya, hal ini tak bisa lepas dari oknum tersebut karena beberapa temuan, perusahaan itu didaftarakan dengan nama istri, anak, hingga tukang kebun oknum pegawai.
Namun, Ivan menyebut dalam paparan Sri Mulyani di Komisi XI kemarin, Menkeu memisahkan antara transaksi oknum pegawai dengan perusahannya.
"Sehingga angka Rp 35 triliun itu setelah dikeluarkan entitas perusahaan menjadi Rp 22 triliun, lalu dikeluarkan lagi dari yang ada Kemenkeu, maka menjadi Rp 3,3 triliun. Kemudian ramai bahwa PPATK salah dan sebagainya," kata Ivan.
Ivan menilai, tak bisa memisahkan antara transaksi yang dilakukan oleh oknum saja dan transaksi yang dilakukan oleh entitas perusahaan. Hal ini berkaitan dengan modus pencucian uang yang kata dia selalu menggunakan proxy crime alias memakai tangan atau akun orang lain, termasuk entitas perusahan tersebut.
"Kenapa kami tidak bisa lepaskan (keterkaitan perusahaan dan oknum) ini? Kami sinyalir itu adalah perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oknum tadi. Makanya perlu pembuktian dari penyidiknya sendiri," kata Ivan.
Transaksi Rp 35,5 triliin tersebut baru dari kategori transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu. Dalam paparannya, Mahfud menyebut terdapat transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain Rp 53,8 triliun.
Selain itu, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik TPA dan TPPU yanh belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu Rp 260,5 trilin. Data-data itulah yang setelah diakumulasi ditemukan angka Rp 349,8 triliun.
Pembelaan Sri Mulyani
Dalam rapat Komisi XI DPR awal pekan ini, Sri Mulyani mengkalaim transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu hanya Rp 3,3 triliun.
Sri Mulyani menyebut, terdapat 135 surat terkait korporasi dan pegawai yang nilainya Rp 22 triliun dari PPATK selama 15 tahun terakhir. Ini terdiri atas transaksi debit kredit operasional korporasi Rp 18,7 triliun. Ini merupakan transaksi yang sebelumnya diminta Kemenkeu ke PPATK untuk menyelidiki keterkaitan pegawainya dengan perusahaan tersebut.
Sebagian dari 153 surat itu juga merupakan transaksi Rp 3,3 triliun terkait pegawai Kemenkeu.
"Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp 3,3 triliun, ini 2009-2023 atau 15 tahun seluruh transaksi debit kredit dari seluruh pegawai yang diinquiry," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, nilai Rp 3,3 triliun merupakan akumulasi transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga dan jual beli harta yang telah ditindaklanjuti. Beberapa di antaranya juga berupa surat yang terkait permintaan Kemenkeu untuk melacak transaksi pegawai sebagai syarat dalam sesi fit and proper test promosi dan mutasi jabatan
"Misalnya kami sedang fit and proper test, tolong (ke PPATK) minta data si X pegawai kita, maka kita dapat transaksi dari pegawai itu. Jadi ya tidak ada dalam hubungannya dengan pidana atau korupsi, itu untuk cek profiling risk pegawai kita," kata Sri Mulyani.