Pendidikan & Pekerjaan, Aspek yang Meningkatkan Kualitas Hidup Pemuda
Pendidikan dan pekerjaan adalah dua hal yang sangat penting. Kedua aspek tersebut sangat dibutuhkan untuk mendorong kualitas hidup yang baik bagi generasi Y dan Z di Indonesia.
Kaum muda Indonesia menginginkan akses pendidikan baik dan pekerjaan yang layak. Hal itu terungkap dalam laporan Next Generation Indonesia yang dipublikasikan British Council. Riset yang dilakukan terhadap 3.093 responden tahun lalu itu menunjukkan, anak muda menginginkan akses pendidikan yang lebih terbuka.
Sayangnya, ada banyak faktor yang membuat mereka tidak dapat mencapainya. Tekanan keluarga dan keterbatasan keuangan, misalnya. Hal tersebut menjadi penyebab utama putus sekolah, terutama di kawasan pedesaan.
Sebanyak 34 persen responden mengalami putus sekolah sebelum menginjak bangku sekolah menengah atas (SMA). Itu terjadi akibat pendapatan keluarga yang rendah. Lebih jauh, 10 persen responden harus bekerja untuk ikut menafkahi keluarga.
Perempuan dan pemuda di pedesaan bahkan merasakan beban keuangan yang lebih berat. Sebanyak 43 persen remaja perempuan juga mengalami putus sekolah sebelum SMA karena masalah keuangan keluarga.
Alasan yang sama diungkapkan oleh 27 persen remaja laki-laki dan 39 persen kaum muda pedesaan. Di perkotaan, alasan pendapatan keluarga yang rendah menjadi penyebab putus sekolah bagi 23 persen kaum remaja.
Putus sekolah juga menjadi nasib yang dialami kaum muda di kawasan timur Indonesia, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tak hanya ihwal kelanjutan pendidikan, pelajar di kawasan tersebut juga dihadapkan pada kurangnya fasilitas pendidikan yang laik.
Misalnya, bangunan sekolah yang rusak, kurangnya jumlah ruang kelas, kualitas pengajaran yang buruk, ketiadaan sarana komputer untuk belajar, dan lain-lain.
“Sekolah di desa saya memiliki fasilitas yang tidak memadai untuk para siswa. Mereka pergi ke sekolah dan belajar dengan bahan pembelajaran yang terbatas, fasilitas sekolah yang buruk, dan alat transportasi masih sangat buruk,” ujar seorang responden perempuan berusia 20 tahun dari Kota Kupang, NTT, sebagaimana dikutip dari laporan Next Generation Indonesia.
Di kawasan timur Indonesia, hanya 35 persen responden yang menganggap bahwa menyelesaikan sekolah menengah itu penting. Persepsi yang sama diutarakan oleh 46 persen responden di kawasan barat Indonesia.
Orang-orang di kawasan timur Indonesia cenderung merasa bahwa sistem pendidikan tidak cukup membekali mereka untuk hidup dan bekerja. Hanya 30 persen responden yang merasa bahwa pendidikan bisa membantu mendapatkan pekerjaan. Di kawasan barat Indonesia, jumlah ini lebih tinggi, yakni mencapai 38 persen.
Namun, pada sisi lain, orang-orang yang tidak melanjutkan sekolah sering kali berharap masuk ke sistem pendidikan. Para responden yang putus sekolah menyesali keputusan mereka, dan ingin kembali belajar di sekolah jika ada kesempatan.
Tertarik Berwirausaha
Generasi Y dan Z menginginkan stabilitas finansial, sekaligus ingin memiliki bisnis sendiri. Laporan Next Generation Indonesia menyebutkan, lebih dari separuh responden (57 persen) berminat mendirikan usaha. Namun, hal ini lebih dipicu karena tidak cukupnya lapangan kerja yang tersedia.
Kegiatan berbisnis paling diminati oleh pemuda yang tergolong pada rentang usia 25-29 tahun (62 persen) dan 30-35 tahun (60 persen). Kegiatan ini juga banyak diminati oleh pemuda yang tinggal di pedesaan (61 persen).
Para responden survei Next Generation Indonesia berharap bisa memiliki karier yang cemerlang, baik di sektor swasta maupun pemerintahan. Berkarier pada dua sektor tersebut dianggap sebagai suatu hal yang dapat membanggakan keluarga.
Namun, ketatnya persaingan dan nepotisme pada sektor formal juga mendorong anak muda untuk berwirausaha. Anak muda termotivasi untuk bekerja di sektor teknologi, seiring kian banyaknya startup yang bermunculan. Anak muda Indonesia juga tertarik berkarya pada sektor kreatif.
“Meski dukungan keluarga untuk peran ini relatif terbatas, bukti kualitatif kami menunjukkan bahwa ini adalah area yang banyak diminati oleh anak muda,” tulis laporan tersebut.
Pemuda menghadapi banyak hambatan saat mencari pekerjaan. Kompetisi, nepotisme, dan kurangnya peluang kerja. Ketiga hal tersebut menjadi alasan utama sulitnya bersaing di pasar kerja. Situasi ini juga membuat migrasi atau kebiasaan merantau menjadi hal yang biasa bagi anak muda Indonesia. Hal ini terjadi akibat kurangnya peluang kerja di tempat asal.
Semua faktor ini membuat hasrat berwirausaha pemuda lebih dipengaruhi oleh kebutuhan finansial, bukan passion semata.
Pada sisi lain, pemuda juga merasakan ancaman tidak mendapatkan pekerjaan yang layak. Kekhawatiran ini dirasakan oleh kaum puan, pemuda yang tinggal di pedesaan, difabel, bahkan pemuda yang menyandang gelar pendidikan tinggi.
Atas berbagai kondisi ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencapai situasi yang lebih baik. Yakni, kolaborasi antara dunia pendidikan dengan institusi dan pengusaha, pengurangan kesenjangan pendidikan, serta penciptaan regulasi yang memungkinkan para pemuda mendapatkan pekerjaan yang layak dan bermakna.
“Berikan lebih banyak dukungan finansial untuk kaum muda (dan membangun kesadaran tentang bagaimana mereka dapat mengaksesnya) untuk dapat berpartisipasi dalam skema magang, baik secara nasional maupun internasional.” Demikian saran yang tertulis dalam laporan Next Generation Indonesia.
Laporan tersebut juga menyarankan agar pemerintah lebih membuka kesempatan bagi kaum muda untuk mengembangkan keterampilannya secara lokal. Pemerintah juga didorong untuk memberi dukungan pada orang muda agar lebih giat dan sukses berwirausaha.